Pancasila Sebagai Cita Hukum (Rechtsidee)
Dalam Memutus Setiap Perkara Pengujian Undang-Undang Terhadap UUD 1945
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Posisi Pancasila sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan refleksi dari
renungan yang mendasar atas perjuangan untuk membangun tatanan hukum
berlandaskan pada nilai-nilai luhur bangsa Indonesia dan yang diidealkan dalam
sistem hukum nasional. Dengan demikian, setiap hukum yang lahir harus
berdasarkan Pancasila dengan memuat konsistensi isi sesuai dengan hirarkinya.
Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan[1]
yang menyatakan bahwa Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara.[2]
Penempatan Pancasila sebagai sumber
dari segala sumber hukum negara didasarkan pada landasan kefilsafatan Pancasila
yang telah dirumuskan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang mengandung
lima pokok kaidah negara yang fundamental (staatsfundamentalnorm)
sekaligus sebagai dasar ideologi negara (state
ideology).[3]
Konsekuensinya, peraturan perundang-undangan yang disusun harus memuat
nilai-nilai yang terkandung dalam sila Pancasila, karena substansi Pancasila
itu sendiri merupakan nilai yang harus dijabarkan lebih lanjut ke dalam suatu
norma dan selanjutnya direalisasikan dalam kehidupan nyata.[4] Hal
tersebut sesuai dengan pendapat Moh. Mahfud MD[5] bahwa
Pancasila memang berkonotasi yuridis dalam arti melahirkan berbagai peraturan
perundang-undangan yang tersusun secara hirarkis dan bersumber darinya.
Untuk menilai suatu
perundang-undangan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945 telah
memberikan ruang melalui mekanisme penyusunan Program Legislasi Nasional dan
Program Legislasi Daerah serta judicial
review yang dilakukan oleh lembaga yudikatif yaitu Mahkamah Konstitusi (MK)
dan Mahkamah Agung (MA). Pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 (uji
konstitusional) dilakukan MK sedangkan pengujian peraturan perundang-undangan
di bawah undang-undang di atasnya (uji legalitas) dilakukan oleh MA.
Berdasarkan data MK,[6]
perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) mengalami kenaikan setiap tahun. Pada
tahun 2014 jumlah perkara yang teregistrasi sebanyak 140 perkara PUU, jika
dibandingkan tahun 2013 naik sekitar 31 perkara. Secara keseluruhan sejak tahun
2003 hingga 2014 terdapat 781
perkara PUU dan telah diputus
sebanyak 701 perkara. Berdasarkan amar putusannya, sebanyak 178 perkara PUU dikabulkan,
247 ditolak, 199 tidak diterima, ditarik kembali sebanyak 77
perkara, dan sisanya 80 perkara PUU dilanjutkan proses pemeriksaannya
pada tahun 2015.
Menurut Syukri Asy’ari dkk[7]
dalam kajiannya menyebutkan banyaknya pengujian undang-undang yang dikabulkan
oleh MK tersebut menujukkan bahwa produk hukum yang dilahirkan oleh pembentuk
undang-undang, masih cacat ideologis. Dengan kata lain, kualitas produk
perundang-undangan sarat akan muatan yang berseberangan dengan konstitusi,
tidak partisipatif, aspiratif, dan akuntabel. Dalam hal ini, terdapat
inkonsistensi dalam penyusunan undang-undang baik dalam teks maupun isinya, bahkan
dinilai undang-undang yang dibuat hanya diperuntukkan untuk kepentingan politik
sesaat yang mengesampingkan aspek keadilan.
Sebagai penjaga dan penafsir
konstitusi, MK telah melindungi hak dasar dalam konstitusi sebagai kesepakatan
bersama (general agreement) di mana
setiap warga negara mendapatkan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan,
serta pemenuhan hak konstitusionalnya. MK dalam hal ini berperan menegakkan dan
melindungi hak-hak konstitusional warga negara dan sebagai pelindung hak asasi
manusia. Namun berdasarkan hasil
penelitian Arizona[8]
berpendapat yang berkaitan dengan konsistensi MK dalam melindungi nilai-nilai
Pancasila, antara lain (1) mengenai filosofi penalaran para Hakim MK yang
memiliki sikap yang berbeda dalam memutus perkara ia bersikap memperkokoh
nilai-nilai luhur Pancasila dan merealisasikan ide-ide yang dikandung dalam
nilai-nilai luhur Pancasila, tetapi di sisi lain Putusan MK malah terpengaruh
oleh arus globalisasi yang mentranformasikan “ideology hukum liberal”, dan (2)
konsistensi MK yang belum maksimal sebagai penjaga nilai-nilai Pancasila secara
simbolis dan substansial dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak
konstitusional warganegara.[9]
Ciri negara modern adalah pernyataan
dengan tegas mengenai hak-hak asasi manusia dalam konstitusi dengan negaranya.
MK dalam melakukan penafsiran seharusnya berorientasi pada keadilan substantif
daripada hanya berkutat pada keadilan prosedural. Di dalam keadilan substantif
prinsip keadilan sosial menjadi salah satu cita hukum yang dalam hal ini secara
eksplisit termuat dalam sila kelima Pancasila. Prinsip tersebut menjadi pedoman
bagi MK di dalam melakukan penafsiran dan menjadi penguji kebenaran hukum
positif serta menjadi arah hukum untuk dikristalisasikan dalam bentuk norma
yang imperatif guna memperoleh keadilan yang sebenar-benarnya.
B.
Maksud dan Tujuan
Tulisan ini bertujuan untuk
memahami bahwa Pancasila Sebagai Cita Hukum (Rechtsidee) Dalam Memutus Setiap Perkara Pengujian Undang-Undang
Terhadap UUD 1945
C.
Pokok Permasalahan
Hukum tertulis
di Indonesia, hukum yang hidup di Indonesia dan hukum yang di cita-citakan oleh
bangsa indonesia harus mencerminkan Pancasila.
D.
Pembatasan Masalah
Bertumpu pada pemikiran
posisi Pancasila sebagai cita hukum yang diidealkan dalam membangun sistem hukum
nasional, tulisan ini akan fokus pada kajian Pancasila sebagai cita hukum (rechtidee) yang digunakan oleh Mahkamah
Konstitusi sebagai tolok ukur atau batu uji utama dalam memutus setiap perkara
pengujian undang-undang terhadap UUD 1945.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pancasila dalam refleksi asas-asas hukum pembentukan peraturan
perundang-undangan
Sistem norma
hukum Indonesia berada dalam suatu sistem yang berlapis-lapis dan
berjenjang-jenjang sekaligus berkelompok-kelompok, dimana norma tersebut berlaku,
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, dan norma hukum yang lebih
tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma hukum yang lebih tinggi pula,
demikian seterusnya sampai pada suatu norma dasar negara (Staatfundamental norm) Republik Indonesia, yaitu: Pancasila.[10]
Merujuk pada pandangan Mahfud MD bahwa terdapat problem serius yang melanda
pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia, hukum dibuat dan ditegakkan
seolah kehilangan nyawa, hukum dengan mudah dirasuki oleh kepentingan sesaat yang
justru bertentangan dengan cita dan tujuan hukum (Pancasila)[11].
Dalam arti yang lebih khusus bahwa undang-undang belum sepenuhnya menjadi
pengayom dan pelindung masyarakat, Pancasila sebagai rechtsidee belum sepenuhnya diposisikan sebagai suatu cita hukum
yang mengarahkan undang-undang untuk memenuhi keadilan substantif yang
dicita-citakan oleh masyarakat.
Melihat dari sudut hukum, Pancasila
merupakan cita hukum yaitu sebagai dasar dan tujuan setiap hukum di Indonesia.
Hal ini berimplikasi setiap hukum yang lahir di Indonesia harus berdasar pada
Pancasila dengan memuat konsistensi isi pada setiap hirarkinya, yang juga harus
ditujukan untuk mencapai tujuan-tujuan negara sebagaimana tertuang dalam
Pembukaan UUD 1945 yaitu membangun segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Pancasila dalam konotasi yuridis,
telah melahirkan berbagai peraturan perundang-undangan yang tersusun secara
hirarki dan menjadi sumber serta kaidah penuntun hukum. Kedudukan Pancasila
sebagai sumber dari segala sumber hukum negara telah disebutkan dalam UU No. 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.[12]
Hal ini berarti bahwa hukum yang ada dan berlaku haruslah hukum yang memuat
nilai-nilai Ketuhanan Yang Esa, nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab,
nilai-nilai yang mempersatukan bangsa Indonesia, nilai-nilai demokrasi dan
nilai-nilai keadilan sosial. Dalam kepustakaan Belanda, peraturan
perundang-undangan dikategorikan sebagai “wet
in materiele zin” atau undang-undang dalam arti material (luas), sedangkan
“wet in formele zin” adalah
undang-undang dalam arti formal.[13]
Dalam hukum positif Indonesia
undang-undang dalam arti material sebagaimana dimaksud UU No. 12 Tahun 2011
Pasal 1 dimana makna “Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis
yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan
oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang
ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan”. Selanjutnya dalam UU No. 12
Tahun 2011 Pasal 7 Ayat (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan
terdiri atas:
a.
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat;
c.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang;
d.
Peraturan Pemerintah;
e.
Peraturan Presiden;
f.
Peraturan Daerah Provinsi; dan
g.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan yang pernah berlaku memiliki Empat dasar hukum yang mengatur
mengenai jenjang peraturan perundang-undangan di Indonesia, dasar hukum yang
pernah berlaku (Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR GR mengenai
Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan, Tap MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-undangan, dan Undang-undang No. 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan) dan dasar hukum yang sedang
berlaku (Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan), yaitu:
Tabel 1.
Perbandingan Jenjang
Peraturan Perundang-undangan
Tap MPRS No. XX/ MPRS/1966
|
Tap MPR No. III/ MPR/ 2000
|
UU No. 10 Tahun 2004
|
UU No.12 Tahun 2011
|
1. UUD 1945
2. Tap MPR/S
3. UU/ Perppu
4. PP
5. Keppres
6.Peraturan pelaksanaan
lainnya
|
1. UUD 1945
2. Tap MPR/S
3. UU
4. Perppu
5. PP
6. Perda
|
1. UUD 1945
2. UU/ Perppu
3. PP
4. Perpres
5. Perda (Peraturan
Propinsi, Peraturan Kabupaten/ Kota, dan Peraturan Desa
|
1. UUD 1945
2. Tap MPR
3. UU/ Perppu
4. PP
5. PerPres
6.Peraturan Gubernur
7.Peraturan Kabupaten/
Kota
|
Dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan ahli hukum dan Pengujiannya Jerman, Karl Larenz menempatkan
asas hukum sebagai ukuran hukum etis yang memberikan arah kepada pembentukan
hukum. Senada dengan pandangan itu, Satjipto Rahardjo[14] memandang
asas sebagai jiwa yang memberi nutrisi kepada aturan hukum setara dengan fungsi
ratio legis pembentukan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan pemaknaan
asas hukum itu, dalam konteks inilah “fungsi cita hukum” refleksinya akan
tampak dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.[15]
Asas-asas hukum itu terefleksi dalam
asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dalam Cita Hukum
Pancasila mencakup:
a.
prinsip relegiusitas kebertuhanan
segenap warga negara;
b.
prinsip humanitas yang berkeadilan
dan beradab;
c.
prinsip nasionalitas kebangsaan
Indonesia;
d.
prinsip kedaulatan rakyat dalam
kerangka demokrasi politik dan demokrasi ekonomi; dan
e.
prinsip sosialitas yang berkeadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Refleksi dari asas-asas di atas telah
diimplementasikan kedalam hukum positif yakni tersurat dan tersirat dalam UU
No. 12 Tahun 2011 pada Pasal 5 menentukan asas-asas yang bersifat formal dan
Pasal 6 menentukan asas-asas yang bersifat material pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik. Dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, Pasal 5 dan Penjelasannya dinyatakan dalam
membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi asas
kejelasan tujuan; asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; asas
kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; asas dapat dilaksanakan;
tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun
yuridis; asas kedayagunaan dan kehasilgunaan; asas kejelasan rumusan; dan asas
keterbukaan.
Selanjutnya dalam UU Nomor 12 Tahun
2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 6 Ayat (1) dan Ayat
(2) serta Penjelasannya disebutkan, bahwa Materi muatan Peraturan Perundang-undangan
harus mencerminkan asas pengayoman; asas kemanusiaan; asas kebangsaan; asas
kekeluargaan; asas kenusantaraan; asas bhinneka atunggal ika; asas keadilan;
asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; asas ketertiban dan
kepastian hukum; asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; asas
ketertiban dan kepastian hukum; asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Selain mencerminkan asas materi
muatan sebagaimana dimaksud diatas, Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat
berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang
bersangkutan, antara lain:
a.
dalam Hukum Pidana, misalnya, asas
legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan
asas praduga tak bersalah;
b.
dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam
hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan
itikad baik.
2.2 Pancasila Dalam
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan.
Dalam judicial review yang berkaitan dengan cita hukum Pancasila yang
mencerminkan nilai-nilai dasar utama atau nilai-nilai fundamental, merupakan
tolok ukur suatu peraturan perundang-undangan adil atau tidak. Hal ini
dikarenakan pada masyarakat Indonesia yang berbhinneka, pembentuk peraturan
perundang-undangan tidak jarang menghadapi kendala yang bersifat yuridis,
politis, dan psikologis. Hambatan-hambatan tersebut nampak pada saat
menjabarkan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam Pembukaan dan
Pasal-Pasal dalam UUD 1945, yaitu ketika merumuskan norma konkret kedalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku umum dan mengikat siapa saja.
Berdasarkan uraian di atas, hal ini
dapat diakibatkan karena karakteristik peraturan perundang-undangan itu sendiri
yaitu (1) peraturan perundang-undangan baik itu berupa produk legislasi maupun
regulasi adalah produk politis yang diberi baju yuridis, sehingga (2) tidak jarang norma peraturan
perundang-undangan yang berisi nilai-nilai larangan (verbod), suruhan/perintah (gebod),
dan kebolehan/ijin (toestemming), dan
kadang pengecualian/dispensasi (uitzondering)
dalam implementasinya terjadi konflik dengan nilai-nilai yang berlaku di
masyarakat yang sangat pluralistis dan (3) Solusi yang dapat ditempuh untuk
menyelesaikan konflik antara norma yang berisi nilai-nilai yang dimuat dalam
peraturan perundang-undangan dengan aturan dasar/hukum dasar yang berisi
nilai-nilai dasar yang merupakan manifestasi nilai dasar utama (Pancasila) yang
berlaku di masyarakat (Volksgist)
melalui lembaga pengujian baik melalui Judicial
Review, Legislative Review maupun
Political Review.[16]
Judicial review dapat bersifat
formil dan dapat pula bersifat materiil (formeel toetsingrecht en materiele
toetsingrecht).[17]
Hak menguji formil adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk peraturan
seperti undang-undang, misalnya, terjelma melalui cara-cara (prosedur)
sebagaimana telah ditentukan/ diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku ataukah tidak.[18]
Dari pengertian hak menguji formil tersebut, tampak bahwa yang dinilai atau
diuji adalah tatacara (prosedur) pembentukan suatu Peraturan
Perundang-undangan, apakah sesuai atau tidak dengan ketentuan yang
dinormatifkan dalam peraturan perundang-undangan. Jimly Asshiddiqie[19]
mengemukakan bahwa pengujian formil biasanya terkait dengan soal-soal
prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya.
Pendapat Jimly Asshiddiqie di atas
tidak hanya menekankan pada penilaian terhadap tatacara (prosedur)
pembentukannya, tetapi juga menilai legalitas kompetensi institusi yang
membuatnya. Dalam pengujian formil ini, hakim dapat membatalkan suatu
peraturan, bila proses penetapannya tidak mengikuti prosedur pembentukan
peraturan yang resmi. Di samping itu, hakim juga dapat menyatakan batal
terhadap suatu peraturan yang ditetapkan oleh lembaga yang tidak memiliki
kewenangan resmi untuk membentuknya.
Hak menguji materiil merupakan suatu
wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan
perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu berhak mengeluarkan
suatu peraturan tertentu. Pengertian hak menguji materiil menunjukkan bahwa
yang dinilai atau diuji adalah isi dari suatu peraturan dalam hubungannya
dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya. Pengujian materiil ini
dilakukan, apabila suatu peraturan diduga mengandung pertentangan materi dengan
peraturan lain yang lebih tinggi. Di samping itu, pengujian materiil juga
menyangkut kekhususan-kekhususan yang dimiliki oleh suatu aturan dibandingkan
dengan norma-norma yang berlaku umum.[20] Misalnya,
berdasarkan prinsip “lex specialis
derogate lex generalis”, suatu peraturan yang bersifat khusus dapat
dinyatakan tetap berlaku oleh hakim, meskipun isinya bertentangan dengan materi
peraturan yang bersifat umum. Dengan demikian nilai kaidah umum di kurangi,
karena substansi nilai itu telah diatur khusus. Sebaliknya, suatu peraturan
dapat pula dinyatakan tidak berlaku, jika materi yang terdapat di dalamnya dinilai
oleh hakim nyata-nyata bertentangan dengan norma aturan yang lebih tinggi
berdasarkan prinsip “lex superior derogat
lex inferior”.
Dari pengertian di atas, menunjukkan
adanya perbedaan yang cukup jelas antara hak uji formil dan hak uji materiil.
Jika hak uji formil terfokus pada aspek prosedur, tatacara atau mekanisme
pembentukan peraturan perundang-undangan dan legalitas kompetensi yang
membentuknya, maka pada hak uji materiil berkenaan dengan isi dan kewenangan
pembentuk peraturan perundang-undangan. Judicial
review merupakan upaya pengujian oleh lembaga yudisial terhadap produk
hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, ataupun
judikatif.[21]
Pemberian kewenangan untuk melakukan pengujian tersebut kepada hakim merupakan
penerapan prinsip “checks and balances”
berdasarkan sistem pemisahan kekuasaan negara yang dipercaya dapat lebih
menjamin perwujudan gagasan demokrasi dan cita-cita negara hukum.
Dalam Hukum Positif Indonesia, semua
peraturan perundang-undangan di bawah UUD 1945 dapat diuji, adapun pengaturan
tentang pengujian terhadap peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:
Tabel 2.
Peraturan Perundang-Undangan
|
Pasal
|
Norma
|
UUD Tahun 1945
|
Pasal 24A ayat (1)
|
Mahkamah Agung berwenang mengadili
pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang
diberikan oleh undang-undang.
|
Pasal 24C ayat (1)
|
Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum.
|
|
UU No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman
|
Pasal 20 ayat (2)
|
(1)
Mahkamah
Agung berwenang:
a)
Mengadili
pada tingkat Kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir
oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung, kecuali undang-undang menentukan lain;
b)
Menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang;
dan
c)
Kewenangan
lainnya yang diberikan undang-undang. Pasal 29 ayat (1) Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk a) Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
|
Pasal 29 ayat (1)
|
Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk
a)
Menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
|
|
UU No. 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung sebagaimana telah dirubah dalam perubahan kedua dalam UU No. 3
Tahun 2009
|
Pasal 31
|
(1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji Peraturan
Perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang.
(2) Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan
dibawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
(3) Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan
sebagai mana dimaksud pada ayat (2) dapat diambil baik berhubungan dengan
pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada
Mahkamah Agung.
(4) Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
(5) Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dimuat dalam
berita Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan.
|
UU No.24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011
|
Pasal 10 ayat (1)
|
Mahkamah konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk:
a)
Menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 Penjelasan Pasal 10 ayat (1)
Penjelasan:
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat
final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum
tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat
final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula
kekuatan hukum mengikat (final and binding).
|
Mengenai
pengujian peraturan perundang-undangan, apakah pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang yang dilakukan
oleh MA ataupun pengujian konstitusionalitas Undang-undang terhadap UUD 1945
yang merupakan wewenang Mahkamah Konstitusi (MK), kedudukan Pancasila dan
keseluruhan materi muatan Pembukaan UUD 1945 menjadi “tolok ukur” atau “batu
uji” utama. Karena Pancasila sebagai dasar negara menjadi rechtside (cita hukum) harus dituangkan didalam setiap pembentukan
peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum. Konsekuensi yuridisnya, dalam
posisinya sebagai cita hukum, Pancasila menjadi bintang pemandu semua produk
hukum nasional. Artinya semua aturan hukum dikonsepsikan untuk mewujudkan atau
merealisasikan ide-ide yang dikandung Pancasila.
Selanjutnya akan dibahas khusus
mengenai pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, Melalui ketentuan Pasal 24C
UUD 1945 sebagaimana dikemukakan terdahulu memberikan wewenang kepada MK untuk
menguji undang-undang apabila undang-undang itu dipandang bertentangan dengan
Konstitusi dalam arti materi muatan suatu undang-undang merugikan hak-hak
konstitusional warganegara, kesatuan masyarakat hukum adat, dan badan hukum
baik perdata maupun publik. Ketentuan tersebut sementara ini terkesan dimaknai
bahwa pengujian konstitusionalitas pasal-pasal, ayat-ayat suatu undang-undang
hanya diuji dengan “tolok ukur” atau “batu uji” pasal-pasal UUD 1945. Pandangan
ini tidak tepat, karena tolok ukur untuk menguji (judicial review) undang-undang tidak hanya dengan pasal-pasal UUD
1945, tetapi “tolok ukur” atau “batu uji” nya adalah Pancasila. Argumentasinya
bahwa Pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945 merupakan satu kesatuan, yang kalau
dirinci pasal-pasal itu merupakan penjabaran dari gagasan fundamental Pembukaan
UUD 1945, dan Pembukaan itu merupakan manifestasi Falsafah Negara Pancasila.[22]
Dalam hal ini, Hakim Konstitusi Harjono pernah
mengatakan, batu uji materi konstitusionalitas UU bukan hanya pasal-pasal UUD
tetapi juga Pembukaan UUD. Di dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945
disebutkan bahwa UUD Negara Republik Indonesia terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal.
Meskipun sampai sekarang belum ada yang mengajukan permohonan uji materi UU
dengan batu uji Pembukaan UUD 1945 tetapi pendapat itu benar adanya. Dalam
praktik, terdapat beberapa putusan MK yang langsung menjadikan Pembukaan UUD
1945 sebagai batu uji, misalnya pada putusan uji materi UU Sumber Daya Air, UU
Badan Hukum Pendidikan, UU Penodaan Agama. Hal tersebut dipahami dalam konteks
Pancasila sebagai dasar filsafat yang melandasi alur pikir Pembukaan UUD.
Pancasila bukan norma hukum operasional, melainkan memuat orientasi etis bagi
seluruh desain kenegaraan Indonesia. Pancasila yang berada di “alam nilai” atau
“alam kehendak” perlu dioperasionalkan atau diejawantahkan
ke “alam nyata” melalui serangkaian proses interpretasi. Sebagai lembaga
penguji UU, MK menerjemahkan Pancasila ke dalam putusan-putusan MK sebagai
produk penemuan “keadilan substantif”.
Oleh karena itu jelas, bahwa batu uji
materi konstitusionalitas UU bukan hanya pasal-pasal UUD 1945, tetapi juga
Pembukaan UUD 1945. Dalam Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 ditegaskan “Dengan
ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal”. Hal ini
dapat dimaknai dalam alur pikir bahwa Pembukaan dilandasi oleh Cita Hukum
Pancasila yang menjadi bintang pemandu peraturan perundang-undangan untuk
merealisasikan ide-ide yang dikandung dalam nilai-nilai luhur Pancasila.
Bagaimanakah MK menggunakan Pancasila sebagai batu uji UU
terhadap UUD 1945, hal ini dapat dikaji beberapa Putusan MK. Beberapa Putusan MK yang dapat dipakai sebagai contoh tentang
pengujian UU terhadap UUD 1945. [ ] Terkait dengan
fokus kajian ini, penulis menganalisis beberapa putusan yang secara jelas
(tersurat) dan tersirat menjadikan Pancasila sebagai tolok ukur pengujian
undang-undang, misalnya: (1) Putusan No.140/PUU-VII/2009 perihal Pengujian
Undang-undang No.1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau
Penodaan Agama; (2) Putusan No.27/PUU-VII/2009 perihal Pengujian Undang-Undang
No.3 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.5 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung; dan (3)
Putusan No.018/PUU-I/2003 perihal Pengujian Undang-undang No.45 Tahun 1999
tentang tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya
Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota
Sorong.
2.3 Formulasi Pancasila
Sebagai Batu Uji Dalam Implementasi Pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945
A. Rancangan Teoritis
Tolok Ukur Pancasila
Idealnya dalam
pengujian Undang-undang terhadap UUD 1945 harus dilihat kesesuaian antara
undang-undang dengan Pancasila (norma Pembukaan) dan Pasal-pasal (batang tubuh)
UUD 1945, mengingat norma keduanya berbeda. Proses penilaian pertentangan norma
idealnya diawali dari Pancasila. Pandangan Mahfud MD, bahwa fungsi Mahkamah
Konstitusi sangat terkait dengan Pancasila, Pancasila merupakan general
acceptance of the same philosophy of government dari konstitusi, dengan
demikian Pancasila yang menjadi dasar norma-norma konstitusional dan harus
menjadi pedoman dan orientasi dalam melakukan penafsiran norma konstitusi[23].
Artinya bahwa Pancasila merupakan tolok ukur yang mengikat dalam pengujian
undang-undang, Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 disebutkan bahwa UUD 1945
terdiri atas Pembukaan dan Pasal-pasal. Dalam pandangan Maria Farida Indrati
Suprapto bahwa UUD 1945 terdiri atas dua kelompok norma, pembukaan dan batang
tubuh (pasal-pasal), Pembukaan UUD dimaknai sebagai staatsfundamental norm atau norma fundamental/ dasar negara,
sedangkan Batang tubuh (pasal-pasal) dimaknai sebagai staatsgrundgezts atau aturan dasar negara[24].
Menurut Jimly Assiddiqie, bahwa Pembukaan dan pasal-pasal adalah satu kesatuan
norma-norma konstitusi yang supreme dalam tata hukum nasional (national legal order)[25].
Pembukaan UUD
1945 sebagai norma dasar kedudukannya lebih utama di bandingkan Pasal-Pasal UUD
1945 karena Pembukaan UUD 1945 mengandung pokok-pokok pikiran yang tidak lain
adalah Pancasila itu sendiri[26]
atau jiwa Pancasila[27],
sehingga Pancasila dapat dikatakan mempunyai kedudukan sebagai norma
fundamental negara (staatsfundamentalnorm)
yang menjadi dasar dan sumber bagi aturan dasar negara atau aturan pokok negara
yaitu Pasal-Pasal atau batang tubuh UUD 1945[28]
dan merupakan landasan dasar filosofisnya yang mengandung kaidah-kaidah dasar
bagi pengaturan negara lebih lanjut[29].
Pancasila sebagai norma dasar negara merupakan norma tertinggi dalam sistem
norma hukum Indonesia dan sebagai norma dasar yang merupakan gantungan bagi
norma-norma yang berada di bawahnya[30]
termasuk norma Pasal Undang-undang Dasar 1945. Pancasila juga merupakan cita hukum
(rechtsidee) rakyat Indonesia dan
merupakan bintang pemandu yang memberikan pedoman dan bimbingan dalam semua
kegiatan, memberi isi pada setiap peraturan perundang-undangan, dan merupakan
kerangka yang membatasi ruang gerak isi peraturan perundang-undangan tersebut[31] sehingga jangan sampai keluar dari
nilai-nilai Pancasila. Sedangkan Pasal-pasal UUD 1945 dimaknai sebagai staatsgrundgezts atau aturan dasar
negara atau aturan pokok negara merupakan kelompok norma hukum di bawah norma
fundamental Negara.
Pandangan Satya
Arinanto bahwa dengan ditetapkannya Pancasila sebagai cita hukum dan sekaligus
norma fundamental negara, maka sistem hukum Indonesia baik dalam
pembentukannya, penerapan, dan penegakkanya tidak dapat melepaskan diri dari
nilai-nilai Pancasila sebagai cita hukum yang konstitutif dan regulative.[32]
Pandangan lain bahwa pembentukan hukum oleh pembentuk undang-undang maupun oleh
Mahkamah Konstitusi harus menjadikan keseluruhan elemen negara hukum itu dalam
satu kesatuan sebagai nilai standar dalam pembentukan maupun pengujian
undang-undang.[33]
Mahfud MD
menyatakan bahwa tugas utama Mahkamah Konstitusi adalah menegakkan konstitusi,
sehingga dalam praktik selalu mengutamakan ketentuan konstitusional berdasarkan
UUD 1945. Dalam melaksanakan fungsi tersebut, ketika Mahkamah Konstitusi
menemukan undang-undang yang nyata-nyata bertentangan dengan konstitusi, maka
Mahkamah Konstitusi akan mengutamakan penegakan keadilan sesuai jiwa
konstitusi, dengan alasan bahwa Pancasila menekankan pentingnya adil dan keadilan.[34]
Pancasila menjadi tolok ukur/ batu uji, sehingga dapat menguji undang-undang
langsung terhadap Pancasila atau Pembukaan UUD 1945, dalam praktik Mahkamah
Konstitusi Pancasila diterjemahkan dalam putusan-putusan sebagai bentuk-bentuk
penemuan keadilan substantif. Dalam hal ini, antara yang formal-prosedural dan/
atau substantif, Mahkamah Konstitusi memilih yang lebih adil sesuai dengan
karakter kasus yang spesifik.[35]
B. Rancangan Praktis Tolok Ukur Pancasila Dalam Pengujian
Meminjam bahasa Soekarno bahwa
Pancasila sebagai philosofische grondslag
yaitu sebagai fundamen, filsafat, pikiran, jiwa hasrat yang menyatu dalam jiwa
bangsa Indonesia, yang kesemuanya tidak bersifat tertulis. Philosofische grondslag mengandung nilai-nilai Ketuhanan,
Kemanusiaan, Persatuan/ Kebangsaan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial yang
diyakini kebenarannya, dan kegunaannya oleh bangsa Indonesia sebagai sumber
nilai dan norma moral bagi penegakan dan pengelolaan kehidupan bersama baik
dalam berbangsa maupun bernegara.[36] Misalnya keadilan sosial juga dapat
didefenisikan sebagai perilaku, yakni perilaku untuk memberikan kepada orang
lain apa yang menjadi haknya demi terwujudnya masyarakat yang sejahtera.
Kesejahteraan adalah tujuan utama dari adanya keadilan sosial.[37]
Untuk itu, Pancasila sebagai philosofische grondslag harus
dioperasionalisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Operasionalisasi
nilai-nilai Pancasila secara konstitusional mensyaratkan, yaitu: Pertama,
kesesuaian dengan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan
nilai-nilai Pancasila; Kedua, syarat filosofis terkait dengan konsistensi antar
setiap undang-undang dengan kaidah penuntun hukum yang ada pada Pancasila;
Ketiga, syarat yuridis yang mengharuskan setiap undang-undang singkron dengan
peraturan lainnya, baik vertikal maupun horizontal. Keempat, syarat sosiologis
yang mewajibkan setiap undang-undang harus sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi
masyarakat demi terselenggaranya negara hukum yang sejahtera, adil dan demokratis
yang mampu mengayomi segenap masyarakat Indonesia.
Dalam kehidupan berhukum di
Indonesia, muncul pandangan mengenai nilai sebagai tujuan hukum, yaitu: nilai
kepastian hukum, nilai keadilan dan nilai kemanfaatan hukum. Pandangan teori
hukum klasik yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch bahwa hukum setidaknya harus
mencerminkan tiga nilai dasar, yaitu: kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit)
dan keadilan (gerechtigkeit).[38]
Ketiga unsur ini harus dipertimbangkan dalam penegakan hukum dan diterapkan
secara proporsional, sehingga pada gilirannya dapat dihasilkan putusan yang
berkualitas dan memenuhi harapan para pencari keadilan.[39]
Tiga nilai dasar tersebut jika dilihat secara teoritis merupakan sebagian
nilai-nilai dalam Pancasila. Selain nilai tersebut, Pancasila juga mengandung
nilai dasar hukum bahwa hukum tidak boleh bertentangan dengan nilai Ketuhanan,
dalam bahasa empiris diterjemahkan kedalam dalam dunia peradilan “Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” artinya bahwa keadilan tersebut harus
bersumber pada nilai-nilai agama dan keyakinan yang dianut oleh bangsa
Indonesia.
Terkait dengan fokus kajian ini,
penulis menganalisis beberapa putusan yang secara jelas (tersurat) dan tersirat
menjadikan Pancasila sebagai tolok ukur pengujian undang-undang, misalnya: (1)
Putusan No.140/PUU-VII/2009 perihal Pengujian Undang-undang No.1/PNPS/Tahun
1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama; (2) Putusan
No.27/PUU-VII/2009 perihal Pengujian Undang-Undang No.3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No.5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung; dan (3) Putusan
No.018/PUU-I/2003 perihal Pengujian Undang-undang No.45 Tahun 1999 tentang
tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat,
Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong.
Pertama, Putusan No.140/PUU-VII/2009 perihal
Pengujian Undang-undang No.1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
dan/atau Penodaan Agama. Pengujian ini menggunakan tolok ukur Sila 1 Pancasila
“Ketuhanan Yang Maha Esa”, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menurunkan
Undang-Undang yang mewajibkan setiap penyelenggara pendidikan mengajarkan agama
sebagai suatu mata pelajaran, sesuai dengan agama masing-masing. Mengajarkan
agama berarti mengajarkan kebenaran keyakinan agama kepada peserta didik.
Praktik demikian pada kenyataannya telah berlangsung lama dan tidak
dipersoalkan legalitasnya. Oleh karenanya, domain keyakinan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa adalah domain forum internum yang merupakan konsekuensi penerimaan
Pancasila sebagai dasar negara.
Putusan ini sangat jelas menggunakan
Pancasila sebagai tolok ukur, namun putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan
permohonan ditolak karena tidak beralasan hukum, sehingga dalam putusan
tersebut tidak ditemukan adanya pertentangan norma hukum Undang-Undang
No.1/PNPS/Tahun 1965 terhadap Pancasila maupun Undang-undang Dasar 1945. Namun
bangunan argumentasi Mahkamah Konstitusi sangat jelas dalam memaknai prinsip
negara hukum Indonesia yang tidak harus sama dengan prinsip negara hukum dalam
arti rechtsstaat maupun the rule of law. Prinsip negara hukum
Indonesia harus dilihat dengan cara pandang UUD 1945, yaitu negara hukum yang
menempatkan prinsip Ketuhanan Yang Maha
Esa sebagai prinsip utama serta nilai-nilai agama yang melandasi gerak
kehidupan bangsa dan negara, bukan negara yang memisahkan hubungan antara agama
dan negara (separation of state and religion), serta tidak semata-mata
berpegang pada prinsip individualisme maupun prinsip komunalisme.
Kedua, Putusan Mahkamah Konstitusi
No.27/PUU-VII/2009 perihal Pengujian Formil Undang-Undang No.3 Tahun 2009
tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Implementasi nilai-nilai
Pancasila dalam putusan ini tidak tersurat, tetapi lebih tersirat dengan
menggunakan dasar nilai kemanfaatan sebagai tujuan hukum dalam negara hukum
Pancasila, nilai kemanfaatan ini merupakan salah satu nilai dalam nilai-nilai
Pancasila.
Dalam kasus ini yang merujuk pada
hasil temuan Mahkamah Konstitusi mengenai adanya pembentukan Undang-undang No.3
Tahun 2009 telah terbukti “cacat procedural” atau pembentukan undang-undang
yang tidak sesuai dengan UUD 1945, maka Mahkamah Konstitusi dengan berpijak
pada logika positivisme hukum yang menekankan kepastian teks hukum
(Undang-undang No.24 Tahun 2003) dapat menyatakan undang-undang tersebut
bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Namun, pilihan Mahkamah Konstitusi sangat tepat dengan tidak membatalkan
undang-undang tersebut.
Argumentasi yang dibangun Mahkamah
Konstitusi, jika undang-undang yang diuji tersebut dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat maka akan mengakibatkan keadaan yang tidak lebih baik
karena: (i) dalam undang-undang a quo justru terdapat substansi pengaturan yang
isinya lebih baik dari undang-undang yang diubah; (ii) sudah diterapkan dan
menimbulkan akibat hukum dalam sistem kelembagaan yang diatur dalam
undang-undang a quo dan yang berkaitan dengan berbagai undang-undang, antara
lain Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang
No.49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No.2 Tahun 1986
Tentang Peradilan Umum, dan lembaga lain seperti hubungan antara Komisi
Yudisial dengan Mahkamah Agung yang sekarang telah berjalan berdasarkan
Undang-Undang No.3 Tahun 2009.
Bangunan argumentasi tersebut
berpijak pada pengutamaan nilai-nilai Pancasila (nilai kemanfaatan), sehingga
memutus berdasarkan nalar hukum progresif yang tidak terkungkung oleh kepastian
teks, dan lebih menekankan pada keadilan substantif. Penulis sependapat dengan
putusan Mahkamah Konstitusi, meskipun terdapat cacat prosedural dalam
pembentukan undang-undang, namun secara materiil undang-undang tersebut tidak
menimbulkan persoalan hukum dan materinya lebih baik dan sesuai dengan semangat
Pancasila dalam mewujudkan tatanan bernegara hukum yang lebih baik, sehingga
penilaian cacat prosedural tersebut dijadikan koreksi pembentukan
undang-undang.
Pengenyampingan pengujian formil demi
nilai kemanfatan hukum adalah tepat dan benar, sebab pengujian formil terkait
dengan proses pembentukan harus melihat terlebih dahulu substansi / materi
undang-undang yang dilahirkan. Proses pembentukan undang-undang memberikan
pengaruh terhadap kualitas undang-undang yang dihasilkan, namun jika proses
yang cacat prosedural tetapi kualitas materinya baik dan tidak bertentangan
dengan Pancasila dan UUD 1945, maka undang-undang tersebut tidak harus
dibatalkan. Pilihan jika terjadi pertentangan antara formalitas dengan
substansi, maka demi keadilan substantif yang harus diutamakan Mahkamah
Konstitusi adalah substansi undang-undang, artinya pertentangan norma hukum
secara formil diperbolehkan disimpangi demi materi undang-undang yang
berkualitas/ baik.
Substansi undang-undang yang baik
inilah sebagai jalan untuk mencapai tujuan hukum, sebab secara filosofis tujuan
dibentuknya hukum (undang-undang) dalam negara hukum Pancasila adalah mencapai
kedamaian, kedamaian dalam arti keserasian antara nilai ketertiban dengan
ketentraman.[40]
Berdasarkan tujuan filosofis tersebut, maka nilai kemanfaatan dari
undang-undang adalah undang-undang tersebut memberikan kontribusi bagi penataan
kelembagaan hubungan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung yang dalam
undang-undang terdahulu menimbulkan banyak permasalahan dan undang-undang
dibentuk untuk mengatasi masalah[41]
jadi Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 dibentuk untuk mengatasi permasalahan
kekosongan hukum dan konflik Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
Ketiga, Putusan Mahkamah Konstitusi
No.018/PUU-I/2003 mengenai pengujian Undang-Undang No.45 Tahun 1999, pengujian
undang-undang a quo didasarkan pada pertimbangan pemberlakuan materi atau
substansi Undang-undang a quo yang secara keseluruhan menimbulkan
ketidakpastian hukum dan secara sosial politis dapat menciptakan konflik sosial
antar masyarakat Papua. Pada intinya pengujian ini adalah bahwa undang-undang
yang berorientasi pada tata nilai yang berlaku (kosmologi Indonesia) dan
berkeadilan, bermanfaat, dan berkepastian hukum dalam masyarakat. Pengujian
keberlakuan ini di dasari pemahaman bahwa terdapat syarat sosiologis yang
mewajibkan setiap undang-undang harus sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi
masyarakat demi terselenggaranya Negara Hukum Pancasila yang sejahtera, adil
dan demokratis yang mampu mengayomi segenap masyarakat Indonesia.[42]
Jika ada undang-undang yang dapat menciptakan konflik sosial di masyarakat,
maka undang-undang tersebut harus dibatalkan.
Dalam putusan tersebut konflik sosial
disebabkan adanya benturan hukum antara Undang-Undang No.45 Tahun 1999 dan
Undang-undang No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Pandangan M.
Fajrul Falaakh bahwa fungsi hak menguji berlaku terhadap produk hukum non
peradilan, hak menguji ini untuk menilai kesesuaian suatu peraturan
perundang-undangan dengan peraturan lain, baik yang kedudukannya lebih tinggi
(sinkronisasi vertikal) maupun sederajat (sinkronisasi horisontal).[43]
Merujuk pada pendapat tersebut, Penulis berkesimpulan bahwa Mahkamah Konstitusi
berhak menguji beberapa undang-undang yang saling bertentangan (pertentangan
antara norma dalam undang-undang yang satu dengan yang lainnya) terhadap
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, sebab benturan antar undang-undang
tersebut akan menyebabkan tersumbatnya tujuan dalam berbangsa dan bernegara,
dan tentunya akan merusak bangunan persatuan dan kesatuan Indonesia. Rusaknya
bangunan hukum yang sederajat tersebut lebih lanjut dapat bertentangan dengan
nilai-nilai Pancasila, baik nilai keadilan, kemanfaatan, maupun kepastian hukum
yang adil.
Dalam pengujian undang-undang ini,
Hakim Mahkamah Konstitusi adalah penjaga nilai-nilai Pancasila yang hidup di
dalam masyarakat atau dapat menjadi perumus dari nilai-nilai hukum yang hidup
dalam masyarakat (living of constitution)[44]
ini merupakan terobosan hukum berkeadilan substantif, bahwa dalam pengujian
undang-undang tidak hanya menggunakan pendekatan tekstual saja tetapi
kontekstual kemasyarakatan yang sangat berkaitan dengan dimensi keadilan dan
kemanfaatan bagi masyarakat. Penggunaan pendekatan sosiologis ini ada benarnya,
merujuk pada pandangan Satjipto Rahardjo yang meyakini bahwa tidak ada rumusan
satu undang-undang pun yang absolut benar, lengkap, dan komprehensif. Oleh
karena itu, menurut Satjipto penafsiran hukum merupakan sebuah ”sarana” yang
dapat menjembatani kekurangan aturan objek yang dirumuskan dengan perumusannya,
untuk itu menurut Satjipto penafsiran hukum progresif dibutuhkan untuk kembali
memanusiakan aturan hukum yang sangat kaku (formal).
Cara itu berguna agar hukum mampu
mencapai kehendak tertinggi dari keinginan manusia di dunia yaitu kebahagian.
Hukum berfungsi mencapai harapan-harapan tersebut, menurut Satjipto hendaknya
hukum bisa memberikan kebahagian kepada rakyat dan bangsanya. Untuk mencapai
kebahagian itu, hukum sebagai alat harus mampu dipraktikkan secara luar biasa
dan progresif. Masyarakat memang membutuhkan ketertiban serta keteraturan,
sebab itu masyarakat membutuhkan hukum. Namun ketertiban hukum tidak harus
menghalangi manusia untuk bertindak progresif agar hukum menjadi hidup dan
menyentuh aspek-aspek keadilan di masyarakat.[45]
Berdasarkan uraian putusan di atas,
dapat disederhanakan bahwa makna bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 yaitu
adanya norma hukum baik materi (materiil) maupun proses pembentukannya (formil)
yang tidak sesuai/ berbeda dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
dan UUD 1945, ketidaksesuaian atau perbedaan tersebut yang menyebabkan
peraturan di bawahnya tidak memiliki landasan keberlakuan, sehingga harus
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945. Hal ini tentunya berlandaskan pemikiran bahwa Pancasila sebagai
dasar, ideologi dan filsafat bangsa dan negara, serta merupakan sumber dari
segala sumber hukum negara, sehingga setiap materi peraturan perundang-undangan
tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila[46]
dan Pasal-pasal dalam UUD 1945 merupakan
kritalisasi nilai-nilai Pancasila yang tidak boleh bertentangan dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Intinya dalam konteks ini bahwa
Pancasila merupakan tolok ukur constitutional
review, Pancasila yang dimaksud adalah Pancasila sebagaimana termuat dalam
Pembukaan UUD 1945.[47] Nilai-nilai Pancasila dalam pengujian
undang-undang bersifat fleksibel sehingga lebih mudah mencapai keadilan
substantif, lebih mudah mewujudkan tujuan hukum yang berkeadilan,
berkemanfaatan, dan berkepastian hukum. Pancasila dapat dijadikan tolok ukur dalam
menilai dan menguji keberlakuan sebuah undang-undang dalam masyarakat, menilai
benturan hukum antar undang-undang yang dapat menyebabkan tidak berjalannya
negara hukum Pancasila, dan hal-hal lain yang tidak terkungkung oleh teks.
Menggunakan Pancasila sebagai tolok
ukur pengujian undang-undang memiliki kelebihan: (1) lebih mengutamakan
penegakan keadilan, kemanfataan, dan kepastian hukum sesuai jiwa konstitusi,
dengan alasan bahwa Pancasila menekankan pentingnya adil dan keadilan. (2)
Merujuk pada hasil penelitian PusaKo, bahwa pengujian oleh lembaga yudisial
merupakan suatu instrumen pengawasan terhadap penuangan Pancasila di dalam
peraturan perundang-undangan, agar undang-undang tidak bertentangan dengan UUD
1945 dan falsafah bangsa (Pancasila),[48]
baik substansi maupun prosedur pembuatannya. (3) Tolok ukur Pancasila akan
mewujudkan makna sesungguhnya tentang pengujian norma hukum yang melindungi
sistem nilai fundamental bangsa Indonesia, dalam hal ini tidak terbatas pada
teks belaka tetapi lebih mengacu pada kontekstualisasi nilai-nilai Pancasila;
(4) lebih mudah dalam mewujudkan negara hukum Pancasila, dan implementasi
elemen-elemen dalam negara hukum Pancasila.
C. Rancangan Pengujian Formil Dalam
Praktek Makamah Konstitusi
Peraturan perundang-undangan tersusun
secara hierarkis, hierarkisitas dalam suatu sistem yang berlapis-lapis dan
berjenjang-jenjang sekaligus berkelompok-kelompok, berlaku, bersumber dan
berdasar pada peraturan yang lebih tinggi, dan peraturan yang lebih tinggi
berlaku, bersumber dan berdasar pada peraturan yang lebih tinggi pula, demikian
seterusnya sampai pada suatu norma dasar negara (Staatfundamentalnorm) Republik Indonesia, yaitu: Pancasila.
Hierarki peraturan perundang-undangan tersebut bertujuan menentukan derajatnya
masing-masing, dengan konsekuensi jika ada peraturan yang bertentangan maka
yang dinyatakan berlaku adalah peraturan yang derajatnya lebih tinggi.
Penyelelesaian konflik norma ini didasarkan pada asas lex superiori derogat legi inferiori (hukum yang derajatnya
lebih tinggi mengesampingkan hukum yang derajatnya lebih rendah).
Untuk menjaga heirarkisitas peraturan
perundang-undangan di Indonesia diperlukan mekanisme pengujian peraturan
perundang-undangan yang berfungsi untuk menilai sekaligus menentukan
pertentangan norma hukum tersebut. Berdasarkan Pasal 24C UUD 1945, Mahkamah
Konstitusi memiliki kewenangan menguji Undang-undang terhadap UUD, dalam hal
ini Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir sah terhadap undang-undang dasar atau
konstitusi (the legitimate interpreter of
the constitution),[49]
yang kewenangannya meliputi pengujian formil dan pengujian materiil. Ketentuan
tersebut diperkuat dengan adanya Undang-undang No.24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, Pasal 10 menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, yakni putusan Mahkamah
Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak
ada upaya hukum yang dapat ditempuh.
Pasal 51 ayat (3) Undang-undang No.24
Tahun 2003 mengatur bahwa pemohon wajib menguraikan dengan jelas mengenai
pembentukan undang-undang yang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945
(bertentangan dengan UUD 1945). Konsekuensinya jika pembentukan undang-undang
tidak sesuai dengan UUD 1945, maka undang-undang yang diuji tersebut harus
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat. Pasal 4 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi No.06/PMK/2005
mengatur mengenai pengujian formil, yaitu pengujian undang-undang yang
berkenaan dengan proses pembentukan undang-undang dan hal-hal yang tidak
termasuk pengujian materiil. Kalimat terakhir “hal-hal yang tidak termasuk
pengujian materiil” dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi tersebut maknanya
termasuk aspek keberlakuan sebuah undang-undang.[50]
Ketentuan
tersebut merupakan desain pengujian formil yang masih menimbulkan berbagai
problem dan mengalami pergeseran dalam praktiknya: Pertama, filosofi pengujian formil adalah memberikan penilaian
konstitusionalitas terhadap pembentukan undang-undang, dalam arti menilai
kesesuaian fakta pembentukan undang-undang terhadap UUD 1945. Yang menjadi
persoalan, undang-undang yang lahir sebelum amandemen UUD 1945 akan diuji
terhadap konstitusi yang mana, diuji berdasarkan konstitusi yang melandasi/
membentuk atau terhadap konstitusi positif (UUD 1945). Kedua, belum adanya desain penggunaan non konstitusi sebagai tolok
ukur pengujian formil, non konstitusi memang diperbolehkan sebagai tolok ukur
berdasarkan praktik Mahkamah Konstitusi melalui pengujian formil (pengujian
Undang-undang No.3 Tahun 2009) dan materiil (pengujian Undang-Undang No.8 Tahun
2011), namun belum disertai desain yang tepat dan benar sebab jika tidak akan
mengkacaukan pemahaman pertentangan norma hukum undang-undang terhadap UUD
1945. Ketiga, luasnya makna
pertentangan norma hukum, hal ini disebabkan belum adanya kriteria yang jelas
mengenai sebuah norma yang dinyatakan bertentangan secara formil, sebagai
contoh pengujian Undang-undang No. 3 Tahun 2009 yang dalam pandangan Mahkamah
Konstitusi dianggap cacat prosedural tetapi tidak dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945 dengan alasan demi asas kemanfaaatan, artinya dalam hal ini
pertentangan norma hukum secara formil dapat disimpangai oleh materi
undang-undang. Berdasar permalasahan tersebut, kajian ini hadir untuk mengurai
benang kusut yang masih menjadi problem pergeseran desain pengujian formil
undang-undang terhadap Undang-undang Dasar 1945.
C.1 Pemahaman Pengujian Formil
Pengujian
formil (formeele toetsing) merupakan
pengujian atas suatu produk hukum yang bukan dari segi materinya, Sri Soemantri
mendefenisikan pengujian formil atau hak uji formil adalah wewenang untuk
menilai, apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang misalnya terjelma
melalui cara-cara (procedure)
sebagaimana yang telah ditentukan/ diatur dalam peraturan perundang-undangan
berlaku atau tidak,[51]
sedangkan Harun Alrasid mengemukakan bahwa hak menguji formil adalah mengenai
prosedur pembuatan undang-undang.[52]
Sementara Mahfud MD mengemukakan bahwa uji formal berkenaan dengan prosedurnya
yang dianggap melanggar atau salah, kesalahan prosedur dan atau mekanisme
(misalnya pembuatannya tidak menurut tingkat-tingkat pembahasan atau tidak
kuorum).[53]
M. Fajrul
Falaakh mengemukakan bahwa hak menguji formal (prosedural) untuk menentukan benar tidaknya cara menerbitkan suatu
peraturan perundang-undangan,[54]
atau wewenang untuk menilai apakah suatu produk hukum telah memenuhi semua
prosedur (procedure) pembentukannya
sebagaimana telah ditentukan/ diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku ataukah tidak. Jadi yang diuji dalam pengujian formil adalah prosedur
pembentukan suatu peraturan perundang-undangan, misalnya dalam proses
penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang diharuskan memenuhi
syarat “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” dan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang itu harus dicabut jika ditolak oleh DPR (Pasal 22 UUD 1945).[55]
Pemahaman lebih
luas mengenai pengertian pengujian formil disampaikan oleh Jimly Asshiddiqie,
bahwa pengujian dilakukan terhadap form atau format dan aspek-aspek formalisasi
substansi norma yang diatur itu menjadi bentuk hukum tertentu menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku sehingga substansi norma hukum yang dimaksud
menjadi mengikat untuk umum. Aspek format, formal, dan formalisasi itu sendiri
cukup luas cakupannya, yaitu mulai dari proses persiapan berupa perancangan
sampai pada tahap pengundangan dan bahkan pemberlakuan suatu norma menjadi
norma yang mengikat untuk umum.[56]
Dalam pandangannya bahwa pengujian formil tidak hanya mencakup proses
pembentukan undang-undang dalam arti sempit, tetapi juga mencakup pengujian
mengenai aspek bentuk undang-undang, dan pemberlakuan undang-undang yang tidak
lagi tergolong sebagai bagian dari proses pembentukan undang-undang,[57]
juga dijelaskan bahwa pengujian formil berkaitan dengan soal-soal prosedural
dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membentuknya.[58]
Pengertian yang
dapat dikembangkan dalam rangka pemahaman terhadap konsepsi pengujian formil
itu bersifat sangat kompleks, secara umum kriteria yang dapat dipakai untuk
menilai suatu objek pengujian (undang-undang terhadap Undang-undang Dasar) dari
segi formalnya (formeele toetsing)
adalah sejauh mana peraturan di atas ditetapkan dalam bentuk yang tepat (appopriate form), oleh institusi yang
tepat (appopriate institution) dan
menurut prosedur yang tepat (appopriate
procedure). Penjabaran dalam beberapa hal: (1) pengujian atas pelaksanaan tata
cara dan prosedur pembentukan undang-undang, baik dalam hal pembahasan maupun
dalam pengambilan keputusan atas rancangan suatu undang-undang menjadi
undang-undang; (2) pengujian atas bentuk, format, atau struktur undang-undang;
(3) pengujian yang berkenaan dengan keberwenangan lembaga yang mengambil
keputusan dalam proses pembentukan undang-undang; (4) pengujian atas hal-hal
yang lain yang tidak termasuk pengujian materiil. Keempat kategori pengujian
formil tersebut di atas, dapat disederhanakan menjadi dua kelompok, yaitu:
pengujian atas proses pembentukan undang-undang dan pengujian atas hal lain
yang tidak termasuk pengujian materiil.[59]
C.2 Dinamika Pemahaman Pengujian Formil
Pasal
24C Undang-Undang Dasar 1945 mengatur ketentuan tentang Mahkamah Konstitusi
yang berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Kalimat akhir “menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar” memunculkan
pertanyaan yuridis, apakah seluruh undang-undang diuji terhadap Undang-Undang
Dasar yang melandasi pembentukannya atau Undang-Undang Dasar positif (UUD 1945
hasil amandemen). Pertanyaan ini muncul seiring adanya pembatalan Pasal 50
Undang-undang No.24 Tahun 2003 yang mengatur pembatasan undang-undang yang
diuji oleh Mahkamah Konstitusi.
Terdapat dua
konsekuensi terkait hal di atas, yaitu: Pertama,
jika undang-undang sebelum amandemen diuji berdasarkan konstitusi yang
melandasi tentu menyebabkan permasalahan hukum. Yang menjadi pertanyaan, apakah
tepat undang-undang yang masih berlaku diuji terhadap Undang-undang Dasar yang
sudah tidak berlaku? Menurut penulis hal tersebut tidak tepat, secara logika
bahwa dengan adanya perubahan UUD 1945 berarti terdapat suatu tertib hukum baru
(new legal order) yang mengakibatkan
tertib hukum yang lama (old legal order)
kehilangan daya lakunya. Kedua, jika
pengujian formil terhadap undang-undang yang lahir sebelum amandemen diuji
berdasarkan UUD 1945, tentu proses pembentukannya berbeda, apalagi setelah
terbitnya Undang-undang No.10 Tahun 2004 dan Undang-Undang No.12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dalam praktik
terdapat putusan Mahkamah Konstitusi yang menjadikan Undang-undang Dasar yang
sudah tidak berlaku sebagai batu uji/ tolok ukur yang kemudian menyebabkan
kebuntuan dan ketidakpastian hukum. Putusan Mahkamah Konstitusi
No.018/PUU-I/2003 perihal Pengujian Undang-Undang No. 45 Tahun 1999 tentang
Pemekaran Propinsi Irian Jaya dan dan Putusan Mahkamah Konstitusi
No.8/PUU-VII/2010 perihal Pengujian Undang-Undang No. 6 Tahun 1954 Tentang
Penetapan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat merupakan bukti bahwa
Undang-undang Dasar yang sudah tidak berlaku sebagai batu uji. Dalam dua
Putusan Mahkamah Konstitusi, pengujian undang-undang dengan batu uji/ tolok
ukur “konstitusi yang tidak berlaku” tidak mampu memberikan solusi terhadap
problem konstitusionalitas undang-undang, namun kemudian dinilai kembali dengan
menggunakan batu uji terhadap konstitusi positif dan dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945.
Dinamika
pemahaman pengujian formil dalam hal ini ditandai adanya pengujian keberlakuan
sebuah undang-undang sebagai bagian dari pengujian formil, hal ini merujuk
Pasal 4 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi No.06/PMK/2005 yang mengatur
bahwa “pengujian formil adalah pengujian undang-undang yang berkenaan dengan
proses pembentukan undang-undang dan hal-hal yang tidak termasuk pengujian
materiil”, oleh Mahkamah Konstitusi kalimat terakhir dalam Peraturan Mahkamah
Konstitusi tersebut maknanya termasuk aspek keberlakuan sebuah undang-undang.
Jimly Asshiddiqie[60]
dan Asosiasi Hukum Acara Mahkamah Konstitusi[61]
juga menggolongkan putusan Mahkamah Konstitusi No.018/PUU-I/2003 yang
menitikberatkan pengujian keberlakuan Undang-undang No. 45 Tahun 1999 tentang
Pemekaran Propinsi Irian Jaya sebagai bagian dari pengujian formil dengan
mendasarkan argumen bahwa pengujian formil termasuk pengujian atas hal-hal yang
tidak termasuk dalam pengujian materiil, termasuk di dalamnya pengujian
keberlakuan.
Sekalipun
pengujian keberlakuan dinilai oleh Mahkamah Konstitusi dan beberapa pakar
sebagai perkembangan pengujian formil, namun Penulis memiliki pandangan berbeda
dengan pendapat di atas, sebab dalam pengujian Undang-undang No. 45 Tahun 1999
justru pengujian didasarkan pada pertimbangan materi atau substansi
undang-undang yang secara keseluruhan menimbulkan ketidakpastian hukum dan
secara sosial politis dapat menciptakan konflik dalam masyarakat. Jadi
konstitusionalitas yang dipersoalkan dalam pengujian ini adalah materi muatan
undang-undang yang jika diterapkan menyebabkan ketidakpastian hukum dan konflik
sosial di masyarakat, bukankah ini bagian dari pengujian materiil, dengan materinya/
substansinya yang dijadikan fokus pengujian dan materinya yang secara
konstitusional bermasalah.
C.3 Pergeseran Tolok Ukur
Kewenangan
Mahkamah Konstitusi adalah menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar
1945, yang tolok ukurnya adalah Pembukaan (Pancasila) dan Pasal-Pasal
Undang-Undang Dasar 1945. Maria Farida memiliki pandangan bahwa UUD 1945
terdiri atas dua kelompok norma, pembukaan dan batang tubuh (pasal-pasal).
Pembukaan UUD dimaknai sebagai staatsfundamental
norm atau norma fundamental negara, sedangkan batang tubuh (pasal-pasal)
dimaknai sebagai staatsgrundgezts
atau aturan dasar negara. Terkait dengan fungsi Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD
menyatakan bahwa tugas utamanya adalah menegakkan konstitusi, sehingga dalam
praktik selalu mengutamakan ketentuan konstitusional berdasarkan UUD 1945.
Dalam melaksanakan fungsi tersebut, ketika Mahkamah Konstitusi menemukan
undang-undang yang nyata-nyata bertentangan dengan konstitusi, maka Mahkamah
Konstitusi akan mengutamakan penegakan keadilan sesuai jiwa konstitusi, dengan
alasan bahwa Pancasila menekankan pentingnya adil dan keadilan.[62]
Pancasila
menjadi “tolok ukur” dan “batu uji” utama, sehingga dapat menguji Undang-undang
langsung terhadap Pancasila atau Pembukaan UUD 1945, dalam praktik Mahkamah
Konstitusi Pancasila diterjemahkan dalam putusan-putusan sebagai bentuk-bentuk
penemuan keadilan substantif. Dalam hal ini, antara yang formal-prosedural dan/
atau substantif, Mahkamah Konstitusi memilih yang lebih adil sesuai dengan
karakter kasus yang spesifik. Merujuk pada hasil penelitian PusaKo, bahwa
pengujian oleh lembaga yudisial merupakan suatu instrumen pengawasan terhadap
penuangan Pancasila di dalam peraturan perundang-undangan, agar undang-undang
tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan falsafah bangsa.[63]
Persoalan akan
muncul jika ketentuan Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945 tidak mengatur secara
rinci atau mendelegasikan pengaturan kepada peraturan di bawahnya, maka untuk
mewujudkan keadilan dalam putusan diperlukan tolok ukur lainnya, yakni non
konstitusi. Non konstitusi dalam arti seluruh ketentuan peraturan
perundang-undangan di luar Undang-Undang Dasar 1945 (Konstitusi) baik Pembukaan
maupun Pasal-Pasalnya, seperti: Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Propinsi dan
Kabupaten/ Kota, Peraturan Tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat, dan lainnya,
termasuk juga Putusan Pengadilan.
Landasan
pemikiran yang dibangun Mahkamah Konstitusi tertuang dalam Putusan No.
49/PUU-IX/2011 perihal pengujian Undang-Undang No.8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
yaitu:[64]
Mahkamah Konstitusi mengadili suatu Undang-Undang wajib menggali nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat berdasarkan UUD 1945
sebagai hukum dasar tertinggi maupun Undang-Undang sebagai penjabaran dari UUD
1945. Pelarangan terhadap Mahkamah untuk menggunakan Undang-Undang lain sebagai
dasar pertimbangan hukum adalah mereduksi kewenangan Mahkamah sebagai kekuasaan
kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan. Penggunaan Undang-Undang lain sebagai dasar pertimbangan hukum
justru untuk menciptakan kepastian hukum yang adil sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.[65]
Dalam Putusan
No. 49/PUU-IX/2011, Mahkamah Konstitusi tidak menguraikan secara jelas mengenai
penggunaan non konstitusi baik dalam pengujian formil atau pengujian materiil.
Penulis berpendirian bahwa ketentuan non konstitusi dapat dijadikan sebagai
tolok ukur dalam pengujian formil dan hanya terbatas pada pengujian formil,
sementara dalam pengujian materiil ketentuan non konstitusi tidak dapat
dijadikan tolok ukur. Hal ini yang membedakan desain praktik pengujian materiil
dan formil, dalam desain pengujian materiil diperbolehkan menggunakan
pendekatan penafsiran hukum, sementara dalam pengujian formil pendekatan
penafsiran hukum tidak boleh dilakukan, sebab yang dinilai dalam pengujian
formil adalah fakta proses pembentukan undang-undang yang dilakukan oleh DPR
dan/ atau Presiden, maupun dalam lingkup pembahasan internal kelembagaan
pembentuk undang-undang.
Putusan
Mahkamah Konstitusi yang menggunakan ketentuan non konstitusi sebagai tolok
ukur, misalnya Putusan Putusan No. 001-021-022/PUU-I/2003 perihal Pengujian
Undang-Undang No.20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dan Putusan No.
27/PUU-VII/2009 perihal Pengujian Undang-undang No. 3 Tahun 2009 tentang
Mahkamah Agung. Dalam arti bahwa tolok ukur dalam pengujian formil
Undang-undang terhadap UUD 1945 yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi
lebih luas tidak hanya Pembukaan dan Pasal-Pasal UUD 1945, non konstitusi juga
dapat dijadikan tolok ukur dalam menilai konstitusionalitas Undang-undang.
Merujuk
pendapat Mahkamah dalam Putusan No.27/PUU-VII/2009 bahwa “jika tolok ukur
pengujian formil harus selalu berdasarkan pasal-pasal UUD 1945 saja, maka
hampir dapat dipastikan tidak akan pernah ada pengujian formil karena UUD 1945
hanya memuat hal-hal prinsip dan tidak mengatur secara jelas aspek formil
proseduralnya”. Pendapat Mahkamah bahwa “hanya” berdasar Peraturan Tata Tertib
DPR sajalah dapat dipastikan apakah DPR telah menyetujui atau menolak RUU,
tanpa adanya Peraturan Tata Tertib DPR, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan
karena UUD 1945 tidak mengatur tata cara pengambilan keputusan DPR, maka
Peraturan Tata Tertib DPR merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam
implementasi UUD 1945.[66]
Berdasar
kalimat di atas kiranya perlu diperjelas mengenai penggunaan non konstitusi, M.
Fajrul Falaakh juga mempertanyakan sejauh mana pengujian formil terhadap
pembentukan Undang-undang harus mengikuti peraturan non konstitusi?[67]
Menurut penulis, pendapat Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No.27/PUU-VII/2009
kuranglah tepat, hanya berdasar Peraturan Tata Tertib dapat dilakukan pengujian
formil menunjukan bahwa “seolah-olah” Peraturan Tata Tertib sudah sesuai dengan
konstitusi dan jika Peraturan Tata Tertib tersebut tidak ada, maka pengujian
formil tidak dapat dilakukan.
Ketentuan non
konstitusi dapat diterapkan dengan sekurang-kurangnya terdapat 3 (tiga) syarat:
Pertama, tolok ukur non konstitusi
lahir dari ketentuan Pasal-Pasal UUD 1945 dan sesuai dengan semangat
konstitusionalisme yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Kedua, non konstitusi merupakan
konsekuensi jenjang norma hukum, yang setiap jenjangnya memiliki batasan materi
yang berbeda, sehingga pengaturan hal-hal yang khusus tersebut menjadi materi
non konstitusi. Ketiga, ketentuan non
konstitusi dijadikan dasar dalam menilai (tolok ukur) fakta proses pembentukan
undang-undang kesesuaian terhadap semangat konstitusionalisme yang terkandung
dalam Pancasila dan UUD 1945 dan khususnya Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan
Pasal 21, Pasal 22A Undang-undang Dasar 1945. Sebelum menggunakan tolok ukur
non konstitusi, sebaiknya dalam pengujian formil harus dinilai terlebih dahulu
bahwa norma hukum dalam non konstitusi tersebut benar-benar merupakan norma
delegasi dari Undang-undang Dasar 1945, sebab ketentuan non konstitusi tidak
dapat dijadikan tolok ukur jika norma hukum dalam non konstitusi bukan
merupakan norma delegasi Undang-undang Dasar 1945, apalagi jika dalam
kenyataannya bahwa norma non konstitusi tersebut justru bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945.
[…]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat
disimpulakan bahwa, staatsidee atau
norma dasar merupaka ladasan filosofis bagi pembentukan konstitusi suatu
negara. Pancasila merupakan norma dasar yang dijadikan sebagai pandangan hidup
bangsa Indonesia sekaligus mengungkapkan pandangan bangsa Indonesia tentang
hubungan antara manusia dan Tuhan, manusia dan sesama manusia serta manusia dan
alam semesta yang berintikan keyakinan tentang tempat manusia individual di
dalam masyarakat dan alam semesta
Pancasila merupakan sumber dari
segala sumber hukum, berarti segala bentuk hukum di Indonesia harus diukur
menurut nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, dan didalam aturan hukum
itu harus tercermin kesadaran dan rasa keadilan yang sesuai dengan kepribadian
dan falsafah hidup bangsa. Hukum di Indonesia harus menjamin dan menegakkan
nilai-nilai yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 yang merupakan pencerminan
Pancasila dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam batang tubuh UUD 1945 serta
penjelasannya. Dengan demikian ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan dari UUD 1945. Kedudukan Pancasila sebagai sumber
dari segala sumber hukum negara merupakan grundnorm
dalam sistem hukum Indonesia yang memberikan arah dan jiwa serta menjadi
paradigma norma-norma dalam pasal-pasal UUD 1945. Interpretasi norma hukum
dalam UUD 1945 sebagai hukum tertinggi akan didasarkan pada jiwa bangsa dalam
Pancasila yang berfungsi sebagai cita hukum yang akan menjadi dasar dan sumber
pandangan hidup atau falsafah hidup bangsa yang menjadi pedoman dalam
pembentukan undang-undang dan peraturan lain yang lebih rendah
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
A.Hamid. S. Attamimi, 1990, Disertasi “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Menyelenggarakan Pemerintahan
Negara, Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan
Dalam Kurun Waktu Pelita I- Pelita IV, Jakarta: Program Doktor Fakultas
Pasca Sarjana, Universitas Indonesia.
Bagir Manan, 2003, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta: FH UII Press.
Dahlan Thaib, Ni’matul Huda, dan Jazim
Hamidi, 2005, Teori dan Hukum Konstitusi,
Jakarta: Rajawali Pers.
Mahfud MD, 2009, Konstitusi dan Hukum dalam
Kontroversi Isu, Jakarta: Rajawali Press.
Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya,
Yogyakarta: Kanisius .
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekano,
1993, Ikthisar Antinomi: Aliran Filsafat
Sebagai Landasan Filsafat Hukum, Jakarta: CV.Rajawali.
Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer
Dalam Sistem Presidensial Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers.
-------, Yuliandri, Feri Amsari, Charles
Simabura, Dayu Medina, dan Edita Elda 2010, Perkembangan
Pengujian Perundang-undangan di Mahkamah Konstitusi (Dari Berfikir Hukum
Tekstual ke Hukum Progresif), Padang dan Jakarta: Pusako FH Universitas
Andalas dan Sekjend dan Kepaniteraan.
Surono dan Miftakhul Huda (ed), 2011, Implementasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam
Menegakkan Konstitusionalisme Indonesia (Prosiding Sarasehan Nasional 2011),
Jakarta dan Yogyakarta: Mahkamah Konstitusi dan Universitas Gadjah Mada.
Suteki, 2010, Rekonstruksi Politik Hukum Hak Atas Air Pro Rakyat, Jawa Timur:
Surya Pena Gemilang.
Yuliandri, 2009, Asas-Asas
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik: Gagasan Pembentukan
Undang-undang Berkelanjutan, Jakarta: Rajawali Pers.
I Dewa Gede Palguna, 2008, Mahkamah Konstitusi, Judicial Review dan
Welfare State, Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MKRI.
Jimly Asshiddiqie, 2005, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Jakarta:
Konstitusi Press.
Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi, 2010, Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi, Jakarta: Sekjend dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Fatmawati, 2005, Hak Menguji (Toetsingrecht) Yang Dimiliki Hakim Dalam Sistem Hukum
Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers.
Sri Soemantri Martosoewignjo, 1986, Hak Menguji Material di Indonesia,
Bandung: Alumni.
Makalah dan Artikel :
Helmi, dalam “Kajian Terhadap Putusan Perkara
No: 827/Pid.B/2005/PN.Bjm Tentang Tindak Pidana Penipuan Jual Beli Batubara, Jurnal Yudisial Vol-I/No-03/Desember/2007
Feri Amsari, dalam “Satjipto Rahardjo dalam
Jagat Ketertiban Hukum Progresif, Jurnal
Konstitusi, Volume 6, Nomor 2, Juli 2009
Hamdan Zoelva, dalam “ Negara Hukum Dalam
Perspektif Pancasila”, dalam Agus Wahyudi, Rofiqul Umam Ahmad, Saldi Isra,
Sindung Tjahyadi, dan Yudi Latif (ed), 2009, Proceeding Kongres Pancasila:
Pancasila Dalam Berbagai Perspektif, Kerjasama UGM dengan Mahkamah Konstitusi,
Sekjend dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Mahfud MD, dalam “Ceramah Kunci Ketua
Mahkamah Konstitusi Pada Kongres
Pancasila Pada Tanggal 30 Mei 2009”, Agus Wahyudi, Rofiqul Umam Ahmad,
Saldi Isra, Sindung Tjahyadi, dan Yudi Latif (ed), Proceeding Kongres Pancasila: Pancasila Dalam Berbagai Perspektif,
Jakarta: Sekjend dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2009, hlm.12-13
M. Hatta Ali, dalam “Peran Hakim Agung Dalam
Penemuan Hukum (Rechtsvinding) dan Penciptaan Hukum (Rechtsschepping) Pada Era
Reformasi dan Trasformasi”, Bunga Rampai
Komisi Yudisal dan Reformasi Peradilan, Komisi Yudisial, Jakarta
Satya Arinanto, dalam “Negara Hukum Dalam
Perspektif Pancasila”, Agus Wahyudi, Rofiqul Umam Ahmad, Saldi Isra, Sindung
Tjahyadi, dan Yudi Latif (ed), 2009, Proceeding
Kongres Pancasila: Pancasila Dalam Berbagai Perspektif, Kerjasama UGM dengan
Mahkamah Konstitusi, Sekjend dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
[1] Indonesia, Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No. 12
Tahun 2011, Pasal 2
[2] Lihat Mohamad Mahfud MD, “Peran
Mahkamah Konstitusi dalam Mengawal dan Mempertahankan Nilai-Nilai Pancasila
Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen”, Jurnal Sekretariat Negara RI, No. 24 Tahun
2012, hal. 48
[3] Lihat dalam Arief, B. Sidharta, Refleksi Tentang Ilmu Hukum: Sebuah
Penelitan tentang fundasi kefilsafatan dan sifat keilmuan Ilmu Hukum sebagai
landasan pembangunan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, (Bandung: Mandar Maju,
1999), hal. 47.
[4] Substansi Pancasila dengan kelima
silanya yang terdapat pada Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan
keadilan pada prinsipnya mengandung kualitas tertentu merupakan cita-cita dan
harapan yang ditujukan bagi bangsa Indonesia untuk diwujudkan bagi kenyataan
real dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Lihat dalam Kaelan, “Filsafat
Pancasila”, Diktat Kursus Calon Dosen Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan
tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta 2006, hal. 29
[5] Moh. Mahfud MD, op. Cit., Hal. 49
[6] Mahkamah Konstitusi, Laporan Tahunan Mahkamah Konstitusi RI 2014:
Menegakkan Konstitusionalisme Dalam Dinamika Politik, (Jakarta:
Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, 2015), hal 49
[7] Syukri Asy’ari, Meyrinda Rahmawaty
Hilipito dan Mohammad Mahrus Ali, “Model Implementasi Putusan Mahkamah
Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang (Studi Putusan Tahun 2003-2012)”,
Jurnal Konstitusi, Volume 10, No. 4, Desember 2013, hal. 678
[8] Yance Arizona dkk, Pancasila Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi,
(Jakarta: Epistime Institut, Yayasan Tifa, 2014), hal. 105-107
[9] Lihat juga dalam Suko Wiyono,
“Fungsi Cita Hukum Pancasila Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan
Pengujiannya”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Hukum Tata
Negara pada Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang, September 2015,
hal. 37
[10] Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu
Perundang-undangan: Dasar-dasar dan
Pembentukannya, Yogyakarta: Kanisius, 1998, hlm.39
[11] Mahfud MD, Pancasila Sebagai Tonggak Konvergensi
Pluralitas Bangsa, Sarasehan Nasional 2011 “Impelementasi Nilai-Nilai
Pancasila Dalam Menegakkan Konstitusionalisme Indonesia, Yogyakarta dan
Jakarta: UGM dan MKRI, 2011, hlm 17
[12] Lihat Pasal 2 dan Penjelasannya
dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
[13] Bagir Manan, Fungsi dan Materi Perundang-undangan, Makalah, (Jakarta: 1994),
hal. 2
[14] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,
(Bandung: Alumni, 1986), hal. 85
[15] Suko Wiyono, Op. Cit, hal. 19
[16] Atmadja, “Membangun Hukum Indonesia:
Paradigma Pancasila”, dalam Membangun Negara Hukum Yang Bermartabat, (Setara
Press: Malang, 2013)
[17] Jimly Asshiddiqie, Judicial Review, Kajian Usulan Permohonan
Hak Uji Materiil terhadap PP No. 19
Tahun 2000 tentang TGPTPK, Dictum Jurnal Kajian Putusan Pengadilan,
Edisi I, Jakarta, 2002, hal. 36
[18] Martosoewignjo, Sri Sumantri, Hak Menguji Material di Indonesia,
(Alumni: Bandung, 1997), hal. 11
[19] Jimly, Op. Cit, hal. 35
[20] Ibid., Hal. 36
[21] Ibid., Hal 31
[22] Moh. Mahfud, Pancasila sebagai Hasil Karya dan Milik Bersama, Makalah pelengkap
atas naskah “Keynote Speech” pada Konggres Pancasila yang diselenggarakan dalam
bentuk kerjasama antara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Universitas
Gajahmada, 30 Mei 2009, Yogyakarta, hal. 8
[23] Mahfud MD, dalam “Ceramah Kunci Ketua Mahkamah Konstitusi Pada
Kongres Pancasila Pada Tanggal 30 Mei 2009”, Agus Wahyudi, Rofiqul Umam
Ahmad, Saldi Isra, Sindung Tjahyadi, dan Yudi Latif (ed), Proceeding Kongres Pancasila: Pancasila Dalam Berbagai Perspektif,
Jakarta: Sekjend dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2009, hlm.12-13
[24] Maria Farida Indrati
Soeprapto, Op.Cit., hlm.48
[25] Jimly Asshiddiqie, “Membangun Budaya Sadar Berkonstitusi Untuk
Mewujudkan Negara Hukum Yang Demokratis”, Bahan Orasi Ilmiah Peringatan
Dies Natalis ke XXI dan Wisuda 2007 Universitas Darul Ulum (Unisda) Lamongan 29
Desember 2007, hlm.6
[26]
Maria Farida Indrati Soeprapto, Op.Cit., hlm.40
[27]
Dahlan Thaib, Ni’matul Huda, dan Jazim Hamidi, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta: Rajawali Pers, 2005, hlm.84
[28]
A.Hamid. S. Attamimi, Disertasi “Peranan
Keputusan Presiden Republik Indonesia
Dalam Menyelenggarakan Pemerintahan Negara, Suatu Studi Analisis Mengenai
Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I- Pelita
IV, Jakarta: Program Doktor Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Indonesia,
1990, hlm.160
[29]
Maria Farida Indrati Soeprapto, Op.Cit., hlm.29
[30]
A. Hamid S. Attamimi, Op.Cit., hlm.159
[31] Maria Farida Indrati
Soeprapto, Op.Cit., hlm.41
[32] Satya Arinanto, dalam “Negara Hukum Dalam Perspektif Pancasila”,
Agus Wahyudi, Rofiqul Umam Ahmad, Saldi Isra, Sindung Tjahyadi, dan Yudi Latif
(ed), Proceeding Kongres Pancasila: Pancasila Dalam Berbagai Perspektif,
Jakarta: Sekjend dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2009, hlm.211
[33] Hamdan Zoelva, dalam “ Negara Hukum Dalam Perspektif Pancasila”,
dalam Agus Wahyudi, Rofiqul Umam Ahmad, Saldi Isra, Sindung Tjahyadi, dan Yudi
Latif (ed), Proceeding Kongres Pancasila: Pancasila Dalam Berbagai Perspektif,
Jakarta: Sekjend dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2009, hlm.229
[34] Mahfud MD, dalam “ Pancasila Sebagai Dasar Ideologi Negara”,
bahan pada Kuliah Umum di Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 6 Juni 2011,
hlm.14-15
[35] Ibid.
[36] Mahfud MD, “Ceramah Kunci Ketua Mahkamah Konstitusi Pada
Kongres Pancasila Pada Tanggal 30 Mei 2009”, dalam Agus Wahyudi, Rofiqul
Umam Ahmad, Saldi Isra, Sindung Tjahyadi, dan Yudi Latif (ed), Proceeding
Kongres Pancasila: Pancasila Dalam Berbagai Perspektif, Jakarta: Sekjend dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2009, hlm.12-13
[37]
Suteki, Rekonstruksi Politik Hukum Hak
Atas Air Pro Rakyat, Jawa Timur: Surya Pena Gemilang, 2010, hlm.19
[38] Helmi, dalam “Kajian Terhadap Putusan Perkara No:
827/Pid.B/2005/PN.Bjm Tentang Tindak Pidana Penipuan Jual Beli Batubara,
Jurnal Yudisial Vol-I/No-03/Desember/2007, hlm.217
[39] M. Hatta Ali, dalam “Peran Hakim Agung Dalam Penemuan Hukum
(Rechtsvinding) dan Penciptaan Hukum (Rechtsschepping) Pada Era Reformasi dan
Trasformasi”, Bunga Rampai Komisi Yudisal dan Reformasi Peradilan, Komisi
Yudisial, Jakarta, hlm.90
[40] Purnadi Purbacaraka dan
Soerjono Soekano, Op.Cit., hlm.5
[41] Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan Yang Baik: Gagasan Pembentukan Undang-undang Berkelanjutan,
Jakarta: Rajawali Pers, 2009, hlm.142
[42] Surono dan Miftakhul Huda
(ed), Implementasi Nilai-Nilai Pancasila
Dalam Menegakkan Konstitusionalisme Indonesia (Prosiding Sarasehan Nasional
2011), Jakarta dan Yogyakarta: Mahkamah Konstitusi dan Universitas Gadjah
Mada, 2011, hlm.218
[43] M. Fajrul Falaakh, dalam
“Terobosan MA Dalam Judicial Review,
Kompas 24 Juni 1993, hlm.4
[44] Saldi Isra, Yuliandri,
Feri Amsari, Charles Simabura, Dayu Medina, dan Edita Elda., Op.Cit., hlm.132
[45] Feri Amsari, dalam “Satjipto Rahardjo dalam Jagat Ketertiban
Hukum Progresif, Jurnal Konstitusi, Volume 6, Nomor 2, Juli 2009, hlm.181
[46] Ibid., hlm.22
[47] Moh.Mahfud MD, Pancasila sebagai...Op.Cit., hlm.27
[48]
Saldi Isra, Yuliandri, Feri Amsari, Charles Simabura, Dayu Medina, dan Edita
Elda., Op.Cit., hlm.162
[49] I Dewa Gede Palguna, Mahkamah Konstitusi, Judicial Review dan
Walfare State, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MKRI, 2008),
hlm.17
[50] Asosiasi Pengajar Hukum
Acara Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi, 2010), hlm. 95
[51] Sri Soemantri
Martosoewignjo, Hak Menguji Material di
Indonesia, (Bandung: Alumni, 1986), hlm.28
[52] Asosiasi Pengajar Hukum
Acara Mahkamah Konstitusi, Op.Cit,
hlm.92
[53] Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu,
(Jakarta, Rajawali Pers, 2009), hlm.258-259
[54] M. Fajrul Falaakh, “Menggagas Constitutional Review di Indonesia”, Kompas, Edisi Sabtu 08 April 2000, hlm.4
[55] Dikutip dari M.Fajrul
Falaakh, pendapat sebagai ahli dalam pengujian Undang-undang No. 3 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung, dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-VII/2009, hlm.40.
[56] Jimly Asshiddiqie,
“Catatan Pengantar Tentang Toetsingrecht dan Judicial Review”, dalam Fatmawati,
Hak Menguji (Toetsingrecht) Yang Dimiliki
Hakim Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005),
hlm.xv-xvi
[57] imly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang,
(Jakarta: Penerbit Yasrif Watampone, 2006), hlm.56
[58] Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingrecht) Yang Dimiliki
Hakim Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), hlm.5
[59] Jimly Asshiddiqie, Op.Cit., hlm.57
[60] Ibid., hlm.63
[61] Asosiasi Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi, Op.Cit., hlm.92
[62] Mahfud MD, “ Pancasila Sebagai Dasar Ideologi Negara”,
bahan pada Kuliah Umum di Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 6 Juni 2011,
hlm.14-15
[63] Saldi Isra, Yuliandri,
Feri Amsari, Charles Simabura, Dayu Medina, dan Edita Elda, Perkembangan Pengujian Perundang-undangan di
Mahkamah Konstitusi (Dari Berhukum Tekstual ke Hukum Progresif), (Padang
dan Jakarta: Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas dan
Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), hlm.162
[64] Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 49/PUU-IX/2011 perihal Undang-Undang No.8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
hlm.73-75
[65] Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 49/PUU-IX/2011 Perihal Pengujian Undang-Undang No.8 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, hlm.74
[66] Ibid., hlm.83
[67] Dikutip dari Fajrul
Falaakh, Op.Cit., hlm.40