Senin, 30 Mei 2016

Pancasila Sebagai Cita Hukum (Rechtsidee) Dalam Memutus Setiap Perkara Pengujian Undang-Undang Terhadap UUD 1945

Pancasila Sebagai Cita Hukum (Rechtsidee) Dalam Memutus Setiap Perkara Pengujian Undang-Undang Terhadap UUD 1945

BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Posisi Pancasila sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan refleksi dari renungan yang mendasar atas perjuangan untuk membangun tatanan hukum berlandaskan pada nilai-nilai luhur bangsa Indonesia dan yang diidealkan dalam sistem hukum nasional. Dengan demikian, setiap hukum yang lahir harus berdasarkan Pancasila dengan memuat konsistensi isi sesuai dengan hirarkinya. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan[1] yang menyatakan bahwa Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara.[2]
Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara didasarkan pada landasan kefilsafatan Pancasila yang telah dirumuskan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang mengandung lima pokok kaidah negara yang fundamental (staatsfundamentalnorm) sekaligus sebagai dasar ideologi negara (state ideology).[3] Konsekuensinya, peraturan perundang-undangan yang disusun harus memuat nilai-nilai yang terkandung dalam sila Pancasila, karena substansi Pancasila itu sendiri merupakan nilai yang harus dijabarkan lebih lanjut ke dalam suatu norma dan selanjutnya direalisasikan dalam kehidupan nyata.[4] Hal tersebut sesuai dengan pendapat Moh. Mahfud MD[5] bahwa Pancasila memang berkonotasi yuridis dalam arti melahirkan berbagai peraturan perundang-undangan yang tersusun secara hirarkis dan bersumber darinya.
Untuk menilai suatu perundang-undangan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945 telah memberikan ruang melalui mekanisme penyusunan Program Legislasi Nasional dan Program Legislasi Daerah serta judicial review yang dilakukan oleh lembaga yudikatif yaitu Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA). Pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 (uji konstitusional) dilakukan MK sedangkan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang di atasnya (uji legalitas) dilakukan oleh MA.
Berdasarkan data MK,[6] perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) mengalami kenaikan setiap tahun. Pada tahun 2014 jumlah perkara yang teregistrasi sebanyak 140 perkara PUU, jika dibandingkan tahun 2013 naik sekitar 31 perkara. Secara keseluruhan sejak tahun 2003 hingga 2014 terdapat 781 perkara PUU dan telah diputus sebanyak 701 perkara. Berdasarkan amar putusannya, sebanyak 178 perkara PUU dikabulkan, 247 ditolak, 199 tidak diterima, ditarik kembali sebanyak 77 perkara, dan sisanya 80 perkara PUU dilanjutkan proses pemeriksaannya pada tahun 2015.
Menurut Syukri Asy’ari dkk[7] dalam kajiannya menyebutkan banyaknya pengujian undang-undang yang dikabulkan oleh MK tersebut menujukkan bahwa produk hukum yang dilahirkan oleh pembentuk undang-undang, masih cacat ideologis. Dengan kata lain, kualitas produk perundang-undangan sarat akan muatan yang berseberangan dengan konstitusi, tidak partisipatif, aspiratif, dan akuntabel. Dalam hal ini, terdapat inkonsistensi dalam penyusunan undang-undang baik dalam teks maupun isinya, bahkan dinilai undang-undang yang dibuat hanya diperuntukkan untuk kepentingan politik sesaat yang mengesampingkan aspek keadilan.
Sebagai penjaga dan penafsir konstitusi, MK telah melindungi hak dasar dalam konstitusi sebagai kesepakatan bersama (general agreement) di mana setiap warga negara mendapatkan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan, serta pemenuhan hak konstitusionalnya. MK dalam hal ini berperan menegakkan dan melindungi hak-hak konstitusional warga negara dan sebagai pelindung hak asasi manusia. Namun berdasarkan hasil penelitian Arizona[8] berpendapat yang berkaitan dengan konsistensi MK dalam melindungi nilai-nilai Pancasila, antara lain (1) mengenai filosofi penalaran para Hakim MK yang memiliki sikap yang berbeda dalam memutus perkara ia bersikap memperkokoh nilai-nilai luhur Pancasila dan merealisasikan ide-ide yang dikandung dalam nilai-nilai luhur Pancasila, tetapi di sisi lain Putusan MK malah terpengaruh oleh arus globalisasi yang mentranformasikan “ideology hukum liberal”, dan (2) konsistensi MK yang belum maksimal sebagai penjaga nilai-nilai Pancasila secara simbolis dan substansial dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warganegara.[9]
Ciri negara modern adalah pernyataan dengan tegas mengenai hak-hak asasi manusia dalam konstitusi dengan negaranya. MK dalam melakukan penafsiran seharusnya berorientasi pada keadilan substantif daripada hanya berkutat pada keadilan prosedural. Di dalam keadilan substantif prinsip keadilan sosial menjadi salah satu cita hukum yang dalam hal ini secara eksplisit termuat dalam sila kelima Pancasila. Prinsip tersebut menjadi pedoman bagi MK di dalam melakukan penafsiran dan menjadi penguji kebenaran hukum positif serta menjadi arah hukum untuk dikristalisasikan dalam bentuk norma yang imperatif guna memperoleh keadilan yang sebenar-benarnya.

B.      Maksud dan Tujuan
Tulisan ini bertujuan untuk memahami bahwa Pancasila Sebagai Cita Hukum (Rechtsidee) Dalam Memutus Setiap Perkara Pengujian Undang-Undang Terhadap UUD 1945
C.      Pokok Permasalahan
Hukum tertulis di Indonesia, hukum yang hidup di Indonesia dan hukum yang di cita-citakan oleh bangsa indonesia harus mencerminkan Pancasila.
D.     Pembatasan Masalah
Bertumpu pada pemikiran posisi Pancasila sebagai cita hukum yang diidealkan dalam membangun sistem hukum nasional, tulisan ini akan fokus pada kajian Pancasila sebagai cita hukum (rechtidee) yang digunakan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai tolok ukur atau batu uji utama dalam memutus setiap perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pancasila dalam refleksi asas-asas hukum pembentukan peraturan perundang-undangan
Sistem norma hukum Indonesia berada dalam suatu sistem yang berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang sekaligus berkelompok-kelompok, dimana norma tersebut berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, dan norma hukum yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma hukum yang lebih tinggi pula, demikian seterusnya sampai pada suatu norma dasar negara (Staatfundamental norm) Republik Indonesia, yaitu: Pancasila.[10] Merujuk pada pandangan Mahfud MD bahwa terdapat problem serius yang melanda pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia, hukum dibuat dan ditegakkan seolah kehilangan nyawa, hukum dengan mudah dirasuki oleh kepentingan sesaat yang justru bertentangan dengan cita dan tujuan hukum (Pancasila)[11]. Dalam arti yang lebih khusus bahwa undang-undang belum sepenuhnya menjadi pengayom dan pelindung masyarakat, Pancasila sebagai rechtsidee belum sepenuhnya diposisikan sebagai suatu cita hukum yang mengarahkan undang-undang untuk memenuhi keadilan substantif yang dicita-citakan oleh masyarakat.
Melihat dari sudut hukum, Pancasila merupakan cita hukum yaitu sebagai dasar dan tujuan setiap hukum di Indonesia. Hal ini berimplikasi setiap hukum yang lahir di Indonesia harus berdasar pada Pancasila dengan memuat konsistensi isi pada setiap hirarkinya, yang juga harus ditujukan untuk mencapai tujuan-tujuan negara sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu membangun segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Pancasila dalam konotasi yuridis, telah melahirkan berbagai peraturan perundang-undangan yang tersusun secara hirarki dan menjadi sumber serta kaidah penuntun hukum. Kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara telah disebutkan dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.[12] Hal ini berarti bahwa hukum yang ada dan berlaku haruslah hukum yang memuat nilai-nilai Ketuhanan Yang Esa, nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, nilai-nilai yang mempersatukan bangsa Indonesia, nilai-nilai demokrasi dan nilai-nilai keadilan sosial. Dalam kepustakaan Belanda, peraturan perundang-undangan dikategorikan sebagai “wet in materiele zin” atau undang-undang dalam arti material (luas), sedangkan “wet in formele zin” adalah undang-undang dalam arti formal.[13]
Dalam hukum positif Indonesia undang-undang dalam arti material sebagaimana dimaksud UU No. 12 Tahun 2011 Pasal 1 dimana makna “Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan”. Selanjutnya dalam UU No. 12 Tahun 2011 Pasal 7 Ayat (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a.    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.    Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.    Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.    Peraturan Pemerintah;
e.    Peraturan Presiden;
f.     Peraturan Daerah Provinsi; dan
g.    Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan yang pernah berlaku memiliki Empat dasar hukum yang mengatur mengenai jenjang peraturan perundang-undangan di Indonesia, dasar hukum yang pernah berlaku (Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, Tap MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, dan Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan) dan dasar hukum yang sedang berlaku (Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan), yaitu:
Tabel 1.
Perbandingan Jenjang Peraturan Perundang-undangan
Tap MPRS No. XX/ MPRS/1966
Tap MPR No. III/ MPR/ 2000
UU No. 10 Tahun 2004
UU No.12 Tahun 2011
1. UUD 1945
2. Tap MPR/S
3. UU/ Perppu
4. PP
5. Keppres
6.Peraturan pelaksanaan lainnya
1. UUD 1945
2. Tap MPR/S
3. UU
4. Perppu
5. PP
6. Perda
1. UUD 1945
2. UU/ Perppu
3. PP
4. Perpres
5. Perda (Peraturan Propinsi, Peraturan Kabupaten/ Kota, dan Peraturan Desa
1. UUD 1945
2. Tap MPR
3. UU/ Perppu
4. PP
5. PerPres
6.Peraturan Gubernur
7.Peraturan Kabupaten/ Kota

Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan ahli hukum dan Pengujiannya Jerman, Karl Larenz menempatkan asas hukum sebagai ukuran hukum etis yang memberikan arah kepada pembentukan hukum. Senada dengan pandangan itu, Satjipto Rahardjo[14] memandang asas sebagai jiwa yang memberi nutrisi kepada aturan hukum setara dengan fungsi ratio legis pembentukan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan pemaknaan asas hukum itu, dalam konteks inilah “fungsi cita hukum” refleksinya akan tampak dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.[15]
Asas-asas hukum itu terefleksi dalam asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dalam Cita Hukum Pancasila mencakup:
a.    prinsip relegiusitas kebertuhanan segenap warga negara;
b.    prinsip humanitas yang berkeadilan dan beradab;
c.    prinsip nasionalitas kebangsaan Indonesia;
d.    prinsip kedaulatan rakyat dalam kerangka demokrasi politik dan demokrasi ekonomi; dan
e.    prinsip sosialitas yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Refleksi dari asas-asas di atas telah diimplementasikan kedalam hukum positif yakni tersurat dan tersirat dalam UU No. 12 Tahun 2011 pada Pasal 5 menentukan asas-asas yang bersifat formal dan Pasal 6 menentukan asas-asas yang bersifat material pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pasal 5 dan Penjelasannya dinyatakan dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi asas kejelasan tujuan; asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; asas dapat dilaksanakan; tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis; asas kedayagunaan dan kehasilgunaan; asas kejelasan rumusan; dan asas keterbukaan.
Selanjutnya dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 6 Ayat (1) dan Ayat (2) serta Penjelasannya disebutkan, bahwa Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas pengayoman; asas kemanusiaan; asas kebangsaan; asas kekeluargaan; asas kenusantaraan; asas bhinneka atunggal ika; asas keadilan; asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; asas ketertiban dan kepastian hukum; asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; asas ketertiban dan kepastian hukum; asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Selain mencerminkan asas materi muatan sebagaimana dimaksud diatas, Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan, antara lain:
a.    dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;
b.    dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.

2.2  Pancasila Dalam Pengujian Peraturan Perundang-Undangan.
Dalam judicial review yang berkaitan dengan cita hukum Pancasila yang mencerminkan nilai-nilai dasar utama atau nilai-nilai fundamental, merupakan tolok ukur suatu peraturan perundang-undangan adil atau tidak. Hal ini dikarenakan pada masyarakat Indonesia yang berbhinneka, pembentuk peraturan perundang-undangan tidak jarang menghadapi kendala yang bersifat yuridis, politis, dan psikologis. Hambatan-hambatan tersebut nampak pada saat menjabarkan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam Pembukaan dan Pasal-Pasal dalam UUD 1945, yaitu ketika merumuskan norma konkret kedalam peraturan perundang-undangan yang berlaku umum dan mengikat siapa saja.
Berdasarkan uraian di atas, hal ini dapat diakibatkan karena karakteristik peraturan perundang-undangan itu sendiri yaitu (1) peraturan perundang-undangan baik itu berupa produk legislasi maupun regulasi adalah produk politis yang diberi baju yuridis, sehingga (2)  tidak jarang norma peraturan perundang-undangan yang berisi nilai-nilai larangan (verbod), suruhan/perintah (gebod), dan kebolehan/ijin (toestemming), dan kadang pengecualian/dispensasi (uitzondering) dalam implementasinya terjadi konflik dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat yang sangat pluralistis dan (3) Solusi yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan konflik antara norma yang berisi nilai-nilai yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan dengan aturan dasar/hukum dasar yang berisi nilai-nilai dasar yang merupakan manifestasi nilai dasar utama (Pancasila) yang berlaku di masyarakat (Volksgist) melalui lembaga pengujian baik melalui Judicial Review, Legislative Review maupun Political Review.[16]
Judicial review dapat bersifat formil dan dapat pula bersifat materiil (formeel toetsingrecht en materiele toetsingrecht).[17] Hak menguji formil adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk peraturan seperti undang-undang, misalnya, terjelma melalui cara-cara (prosedur) sebagaimana telah ditentukan/ diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak.[18] Dari pengertian hak menguji formil tersebut, tampak bahwa yang dinilai atau diuji adalah tatacara (prosedur) pembentukan suatu Peraturan Perundang-undangan, apakah sesuai atau tidak dengan ketentuan yang dinormatifkan dalam peraturan perundang-undangan. Jimly Asshiddiqie[19] mengemukakan bahwa pengujian formil biasanya terkait dengan soal-soal prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya.
Pendapat Jimly Asshiddiqie di atas tidak hanya menekankan pada penilaian terhadap tatacara (prosedur) pembentukannya, tetapi juga menilai legalitas kompetensi institusi yang membuatnya. Dalam pengujian formil ini, hakim dapat membatalkan suatu peraturan, bila proses penetapannya tidak mengikuti prosedur pembentukan peraturan yang resmi. Di samping itu, hakim juga dapat menyatakan batal terhadap suatu peraturan yang ditetapkan oleh lembaga yang tidak memiliki kewenangan resmi untuk membentuknya.
Hak menguji materiil merupakan suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Pengertian hak menguji materiil menunjukkan bahwa yang dinilai atau diuji adalah isi dari suatu peraturan dalam hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya. Pengujian materiil ini dilakukan, apabila suatu peraturan diduga mengandung pertentangan materi dengan peraturan lain yang lebih tinggi. Di samping itu, pengujian materiil juga menyangkut kekhususan-kekhususan yang dimiliki oleh suatu aturan dibandingkan dengan norma-norma yang berlaku umum.[20] Misalnya, berdasarkan prinsip “lex specialis derogate lex generalis”, suatu peraturan yang bersifat khusus dapat dinyatakan tetap berlaku oleh hakim, meskipun isinya bertentangan dengan materi peraturan yang bersifat umum. Dengan demikian nilai kaidah umum di kurangi, karena substansi nilai itu telah diatur khusus. Sebaliknya, suatu peraturan dapat pula dinyatakan tidak berlaku, jika materi yang terdapat di dalamnya dinilai oleh hakim nyata-nyata bertentangan dengan norma aturan yang lebih tinggi berdasarkan prinsip “lex superior derogat lex inferior”.
Dari pengertian di atas, menunjukkan adanya perbedaan yang cukup jelas antara hak uji formil dan hak uji materiil. Jika hak uji formil terfokus pada aspek prosedur, tatacara atau mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan dan legalitas kompetensi yang membentuknya, maka pada hak uji materiil berkenaan dengan isi dan kewenangan pembentuk peraturan perundang-undangan. Judicial review merupakan upaya pengujian oleh lembaga yudisial terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, ataupun judikatif.[21] Pemberian kewenangan untuk melakukan pengujian tersebut kepada hakim merupakan penerapan prinsip “checks and balances” berdasarkan sistem pemisahan kekuasaan negara yang dipercaya dapat lebih menjamin perwujudan gagasan demokrasi dan cita-cita negara hukum.
Dalam Hukum Positif Indonesia, semua peraturan perundang-undangan di bawah UUD 1945 dapat diuji, adapun pengaturan tentang pengujian terhadap peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:
Tabel 2.
Peraturan Perundang-Undangan
Pasal
Norma
UUD Tahun 1945
Pasal 24A ayat (1)
Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.


Pasal 24C ayat (1)
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Pasal 20 ayat (2)
(1)     Mahkamah Agung berwenang:
a)    Mengadili pada tingkat Kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali undang-undang menentukan lain;
b)    Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan
c)    Kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang. Pasal 29 ayat (1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk a) Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Pasal 29 ayat (1)
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
a)        Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah dirubah dalam perubahan kedua dalam UU No. 3 Tahun 2009
Pasal 31
(1)  Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji Peraturan Perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang.
(2)  Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
(3)  Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagai mana dimaksud pada ayat (2) dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung.
(4)  Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
(5)  Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dimuat dalam berita Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan.

UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011
Pasal 10 ayat (1)
Mahkamah konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a)    Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Penjelasan Pasal 10 ayat (1)

Penjelasan:
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).


Mengenai pengujian peraturan perundang-undangan, apakah pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang yang dilakukan oleh MA ataupun pengujian konstitusionalitas Undang-undang terhadap UUD 1945 yang merupakan wewenang Mahkamah Konstitusi (MK), kedudukan Pancasila dan keseluruhan materi muatan Pembukaan UUD 1945 menjadi “tolok ukur” atau “batu uji” utama. Karena Pancasila sebagai dasar negara menjadi rechtside (cita hukum) harus dituangkan didalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum. Konsekuensi yuridisnya, dalam posisinya sebagai cita hukum, Pancasila menjadi bintang pemandu semua produk hukum nasional. Artinya semua aturan hukum dikonsepsikan untuk mewujudkan atau merealisasikan ide-ide yang dikandung Pancasila.
Selanjutnya akan dibahas khusus mengenai pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, Melalui ketentuan Pasal 24C UUD 1945 sebagaimana dikemukakan terdahulu memberikan wewenang kepada MK untuk menguji undang-undang apabila undang-undang itu dipandang bertentangan dengan Konstitusi dalam arti materi muatan suatu undang-undang merugikan hak-hak konstitusional warganegara, kesatuan masyarakat hukum adat, dan badan hukum baik perdata maupun publik. Ketentuan tersebut sementara ini terkesan dimaknai bahwa pengujian konstitusionalitas pasal-pasal, ayat-ayat suatu undang-undang hanya diuji dengan “tolok ukur” atau “batu uji” pasal-pasal UUD 1945. Pandangan ini tidak tepat, karena tolok ukur untuk menguji (judicial review) undang-undang tidak hanya dengan pasal-pasal UUD 1945, tetapi “tolok ukur” atau “batu uji” nya adalah Pancasila. Argumentasinya bahwa Pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945 merupakan satu kesatuan, yang kalau dirinci pasal-pasal itu merupakan penjabaran dari gagasan fundamental Pembukaan UUD 1945, dan Pembukaan itu merupakan manifestasi Falsafah Negara Pancasila.[22] Dalam hal ini, Hakim Konstitusi Harjono pernah mengatakan, batu uji materi konstitusionalitas UU bukan hanya pasal-pasal UUD tetapi juga Pembukaan UUD. Di dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 disebutkan bahwa UUD Negara Republik Indonesia terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal. Meskipun sampai sekarang belum ada yang mengajukan permohonan uji materi UU dengan batu uji Pembukaan UUD 1945 tetapi pendapat itu benar adanya. Dalam praktik, terdapat beberapa putusan MK yang langsung menjadikan Pembukaan UUD 1945 sebagai batu uji, misalnya pada putusan uji materi UU Sumber Daya Air, UU Badan Hukum Pendidikan, UU Penodaan Agama. Hal tersebut dipahami dalam konteks Pancasila sebagai dasar filsafat yang melandasi alur pikir Pembukaan UUD. Pancasila bukan norma hukum operasional, melainkan memuat orientasi etis bagi seluruh desain kenegaraan Indonesia. Pancasila yang berada di “alam nilai” atau “alam kehendak” perlu dioperasionalkan atau diejawantahkan ke “alam nyata” melalui serangkaian proses interpretasi. Sebagai lembaga penguji UU, MK menerjemahkan Pancasila ke dalam putusan-putusan MK sebagai produk penemuan “keadilan substantif”.
Oleh karena itu jelas, bahwa batu uji materi konstitusionalitas UU bukan hanya pasal-pasal UUD 1945, tetapi juga Pembukaan UUD 1945. Dalam Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 ditegaskan “Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal”. Hal ini dapat dimaknai dalam alur pikir bahwa Pembukaan dilandasi oleh Cita Hukum Pancasila yang menjadi bintang pemandu peraturan perundang-undangan untuk merealisasikan ide-ide yang dikandung dalam nilai-nilai luhur Pancasila.
Bagaimanakah MK menggunakan Pancasila sebagai batu uji UU terhadap UUD 1945, hal ini dapat dikaji beberapa Putusan MK. Beberapa Putusan MK yang dapat dipakai sebagai contoh tentang pengujian UU terhadap UUD 1945. [    ] Terkait dengan fokus kajian ini, penulis menganalisis beberapa putusan yang secara jelas (tersurat) dan tersirat menjadikan Pancasila sebagai tolok ukur pengujian undang-undang, misalnya: (1) Putusan No.140/PUU-VII/2009 perihal Pengujian Undang-undang No.1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama; (2) Putusan No.27/PUU-VII/2009 perihal Pengujian Undang-Undang No.3 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung; dan (3) Putusan No.018/PUU-I/2003 perihal Pengujian Undang-undang No.45 Tahun 1999 tentang tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong.

2.3  Formulasi Pancasila Sebagai Batu Uji Dalam Implementasi Pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945
A.     Rancangan Teoritis Tolok Ukur Pancasila
Idealnya dalam pengujian Undang-undang terhadap UUD 1945 harus dilihat kesesuaian antara undang-undang dengan Pancasila (norma Pembukaan) dan Pasal-pasal (batang tubuh) UUD 1945, mengingat norma keduanya berbeda. Proses penilaian pertentangan norma idealnya diawali dari Pancasila. Pandangan Mahfud MD, bahwa fungsi Mahkamah Konstitusi sangat terkait dengan Pancasila, Pancasila merupakan general acceptance of the same philosophy of government dari konstitusi, dengan demikian Pancasila yang menjadi dasar norma-norma konstitusional dan harus menjadi pedoman dan orientasi dalam melakukan penafsiran norma konstitusi[23]. Artinya bahwa Pancasila merupakan tolok ukur yang mengikat dalam pengujian undang-undang, Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 disebutkan bahwa UUD 1945 terdiri atas Pembukaan dan Pasal-pasal. Dalam pandangan Maria Farida Indrati Suprapto bahwa UUD 1945 terdiri atas dua kelompok norma, pembukaan dan batang tubuh (pasal-pasal), Pembukaan UUD dimaknai sebagai staatsfundamental norm atau norma fundamental/ dasar negara, sedangkan Batang tubuh (pasal-pasal) dimaknai sebagai staatsgrundgezts atau aturan dasar negara[24]. Menurut Jimly Assiddiqie, bahwa Pembukaan dan pasal-pasal adalah satu kesatuan norma-norma konstitusi yang supreme dalam tata hukum nasional (national legal order)[25].
Pembukaan UUD 1945 sebagai norma dasar kedudukannya lebih utama di bandingkan Pasal-Pasal UUD 1945 karena Pembukaan UUD 1945 mengandung pokok-pokok pikiran yang tidak lain adalah Pancasila itu sendiri[26] atau jiwa Pancasila[27], sehingga Pancasila dapat dikatakan mempunyai kedudukan sebagai norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm) yang menjadi dasar dan sumber bagi aturan dasar negara atau aturan pokok negara yaitu Pasal-Pasal atau batang tubuh UUD 1945[28] dan merupakan landasan dasar filosofisnya yang mengandung kaidah-kaidah dasar bagi pengaturan negara lebih lanjut[29]. Pancasila sebagai norma dasar negara merupakan norma tertinggi dalam sistem norma hukum Indonesia dan sebagai norma dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di bawahnya[30] termasuk norma Pasal Undang-undang Dasar 1945. Pancasila juga merupakan cita hukum (rechtsidee) rakyat Indonesia dan merupakan bintang pemandu yang memberikan pedoman dan bimbingan dalam semua kegiatan, memberi isi pada setiap peraturan perundang-undangan, dan merupakan kerangka yang membatasi ruang gerak isi peraturan perundang-undangan tersebut[31]  sehingga jangan sampai keluar dari nilai-nilai Pancasila. Sedangkan Pasal-pasal UUD 1945 dimaknai sebagai staatsgrundgezts atau aturan dasar negara atau aturan pokok negara merupakan kelompok norma hukum di bawah norma fundamental Negara.
Pandangan Satya Arinanto bahwa dengan ditetapkannya Pancasila sebagai cita hukum dan sekaligus norma fundamental negara, maka sistem hukum Indonesia baik dalam pembentukannya, penerapan, dan penegakkanya tidak dapat melepaskan diri dari nilai-nilai Pancasila sebagai cita hukum yang konstitutif dan regulative.[32] Pandangan lain bahwa pembentukan hukum oleh pembentuk undang-undang maupun oleh Mahkamah Konstitusi harus menjadikan keseluruhan elemen negara hukum itu dalam satu kesatuan sebagai nilai standar dalam pembentukan maupun pengujian undang-undang.[33]
Mahfud MD menyatakan bahwa tugas utama Mahkamah Konstitusi adalah menegakkan konstitusi, sehingga dalam praktik selalu mengutamakan ketentuan konstitusional berdasarkan UUD 1945. Dalam melaksanakan fungsi tersebut, ketika Mahkamah Konstitusi menemukan undang-undang yang nyata-nyata bertentangan dengan konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi akan mengutamakan penegakan keadilan sesuai jiwa konstitusi, dengan alasan bahwa Pancasila menekankan pentingnya adil dan keadilan.[34] Pancasila menjadi tolok ukur/ batu uji, sehingga dapat menguji undang-undang langsung terhadap Pancasila atau Pembukaan UUD 1945, dalam praktik Mahkamah Konstitusi Pancasila diterjemahkan dalam putusan-putusan sebagai bentuk-bentuk penemuan keadilan substantif. Dalam hal ini, antara yang formal-prosedural dan/ atau substantif, Mahkamah Konstitusi memilih yang lebih adil sesuai dengan karakter kasus yang spesifik.[35]

B.      Rancangan Praktis Tolok Ukur Pancasila Dalam Pengujian
Meminjam bahasa Soekarno bahwa Pancasila sebagai philosofische grondslag yaitu sebagai fundamen, filsafat, pikiran, jiwa hasrat yang menyatu dalam jiwa bangsa Indonesia, yang kesemuanya tidak bersifat tertulis. Philosofische grondslag mengandung nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan/ Kebangsaan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial yang diyakini kebenarannya, dan kegunaannya oleh bangsa Indonesia sebagai sumber nilai dan norma moral bagi penegakan dan pengelolaan kehidupan bersama baik dalam berbangsa maupun bernegara.[36]  Misalnya keadilan sosial juga dapat didefenisikan sebagai perilaku, yakni perilaku untuk memberikan kepada orang lain apa yang menjadi haknya demi terwujudnya masyarakat yang sejahtera. Kesejahteraan adalah tujuan utama dari adanya keadilan sosial.[37]
Untuk itu, Pancasila sebagai philosofische grondslag harus dioperasionalisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Operasionalisasi nilai-nilai Pancasila secara konstitusional mensyaratkan, yaitu: Pertama, kesesuaian dengan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan nilai-nilai Pancasila; Kedua, syarat filosofis terkait dengan konsistensi antar setiap undang-undang dengan kaidah penuntun hukum yang ada pada Pancasila; Ketiga, syarat yuridis yang mengharuskan setiap undang-undang singkron dengan peraturan lainnya, baik vertikal maupun horizontal. Keempat, syarat sosiologis yang mewajibkan setiap undang-undang harus sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat demi terselenggaranya negara hukum yang sejahtera, adil dan demokratis yang mampu mengayomi segenap masyarakat Indonesia.
Dalam kehidupan berhukum di Indonesia, muncul pandangan mengenai nilai sebagai tujuan hukum, yaitu: nilai kepastian hukum, nilai keadilan dan nilai kemanfaatan hukum. Pandangan teori hukum klasik yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch bahwa hukum setidaknya harus mencerminkan tiga nilai dasar, yaitu: kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit).[38] Ketiga unsur ini harus dipertimbangkan dalam penegakan hukum dan diterapkan secara proporsional, sehingga pada gilirannya dapat dihasilkan putusan yang berkualitas dan memenuhi harapan para pencari keadilan.[39] Tiga nilai dasar tersebut jika dilihat secara teoritis merupakan sebagian nilai-nilai dalam Pancasila. Selain nilai tersebut, Pancasila juga mengandung nilai dasar hukum bahwa hukum tidak boleh bertentangan dengan nilai Ketuhanan, dalam bahasa empiris diterjemahkan kedalam dalam dunia peradilan “Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” artinya bahwa keadilan tersebut harus bersumber pada nilai-nilai agama dan keyakinan yang dianut oleh bangsa Indonesia.
Terkait dengan fokus kajian ini, penulis menganalisis beberapa putusan yang secara jelas (tersurat) dan tersirat menjadikan Pancasila sebagai tolok ukur pengujian undang-undang, misalnya: (1) Putusan No.140/PUU-VII/2009 perihal Pengujian Undang-undang No.1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama; (2) Putusan No.27/PUU-VII/2009 perihal Pengujian Undang-Undang No.3 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung; dan (3) Putusan No.018/PUU-I/2003 perihal Pengujian Undang-undang No.45 Tahun 1999 tentang tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong.
Pertama, Putusan No.140/PUU-VII/2009 perihal Pengujian Undang-undang No.1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Pengujian ini menggunakan tolok ukur Sila 1 Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa”, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menurunkan Undang-Undang yang mewajibkan setiap penyelenggara pendidikan mengajarkan agama sebagai suatu mata pelajaran, sesuai dengan agama masing-masing. Mengajarkan agama berarti mengajarkan kebenaran keyakinan agama kepada peserta didik. Praktik demikian pada kenyataannya telah berlangsung lama dan tidak dipersoalkan legalitasnya. Oleh karenanya, domain keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah domain forum internum yang merupakan konsekuensi penerimaan Pancasila sebagai dasar negara.
Putusan ini sangat jelas menggunakan Pancasila sebagai tolok ukur, namun putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan ditolak karena tidak beralasan hukum, sehingga dalam putusan tersebut tidak ditemukan adanya pertentangan norma hukum Undang-Undang No.1/PNPS/Tahun 1965 terhadap Pancasila maupun Undang-undang Dasar 1945. Namun bangunan argumentasi Mahkamah Konstitusi sangat jelas dalam memaknai prinsip negara hukum Indonesia yang tidak harus sama dengan prinsip negara hukum dalam arti rechtsstaat maupun the rule of law. Prinsip negara hukum Indonesia harus dilihat dengan cara pandang UUD 1945, yaitu negara hukum yang menempatkan prinsip Ketuhanan  Yang Maha Esa sebagai prinsip utama serta nilai-nilai agama yang melandasi gerak kehidupan bangsa dan negara, bukan negara yang memisahkan hubungan antara agama dan negara (separation of state and religion), serta tidak semata-mata berpegang pada prinsip individualisme maupun prinsip komunalisme.
Kedua, Putusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-VII/2009 perihal Pengujian Formil Undang-Undang No.3 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Implementasi nilai-nilai Pancasila dalam putusan ini tidak tersurat, tetapi lebih tersirat dengan menggunakan dasar nilai kemanfaatan sebagai tujuan hukum dalam negara hukum Pancasila, nilai kemanfaatan ini merupakan salah satu nilai dalam nilai-nilai Pancasila.
Dalam kasus ini yang merujuk pada hasil temuan Mahkamah Konstitusi mengenai adanya pembentukan Undang-undang No.3 Tahun 2009 telah terbukti “cacat procedural” atau pembentukan undang-undang yang tidak sesuai dengan UUD 1945, maka Mahkamah Konstitusi dengan berpijak pada logika positivisme hukum yang menekankan kepastian teks hukum (Undang-undang No.24 Tahun 2003) dapat menyatakan undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Namun, pilihan Mahkamah Konstitusi sangat tepat dengan tidak membatalkan undang-undang tersebut.
Argumentasi yang dibangun Mahkamah Konstitusi, jika undang-undang yang diuji tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka akan mengakibatkan keadaan yang tidak lebih baik karena: (i) dalam undang-undang a quo justru terdapat substansi pengaturan yang isinya lebih baik dari undang-undang yang diubah; (ii) sudah diterapkan dan menimbulkan akibat hukum dalam sistem kelembagaan yang diatur dalam undang-undang a quo dan yang berkaitan dengan berbagai undang-undang, antara lain Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang No.49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No.2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, dan lembaga lain seperti hubungan antara Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung yang sekarang telah berjalan berdasarkan Undang-Undang No.3 Tahun 2009.
Bangunan argumentasi tersebut berpijak pada pengutamaan nilai-nilai Pancasila (nilai kemanfaatan), sehingga memutus berdasarkan nalar hukum progresif yang tidak terkungkung oleh kepastian teks, dan lebih menekankan pada keadilan substantif. Penulis sependapat dengan putusan Mahkamah Konstitusi, meskipun terdapat cacat prosedural dalam pembentukan undang-undang, namun secara materiil undang-undang tersebut tidak menimbulkan persoalan hukum dan materinya lebih baik dan sesuai dengan semangat Pancasila dalam mewujudkan tatanan bernegara hukum yang lebih baik, sehingga penilaian cacat prosedural tersebut dijadikan koreksi pembentukan undang-undang.
Pengenyampingan pengujian formil demi nilai kemanfatan hukum adalah tepat dan benar, sebab pengujian formil terkait dengan proses pembentukan harus melihat terlebih dahulu substansi / materi undang-undang yang dilahirkan. Proses pembentukan undang-undang memberikan pengaruh terhadap kualitas undang-undang yang dihasilkan, namun jika proses yang cacat prosedural tetapi kualitas materinya baik dan tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, maka undang-undang tersebut tidak harus dibatalkan. Pilihan jika terjadi pertentangan antara formalitas dengan substansi, maka demi keadilan substantif yang harus diutamakan Mahkamah Konstitusi adalah substansi undang-undang, artinya pertentangan norma hukum secara formil diperbolehkan disimpangi demi materi undang-undang yang berkualitas/ baik.
Substansi undang-undang yang baik inilah sebagai jalan untuk mencapai tujuan hukum, sebab secara filosofis tujuan dibentuknya hukum (undang-undang) dalam negara hukum Pancasila adalah mencapai kedamaian, kedamaian dalam arti keserasian antara nilai ketertiban dengan ketentraman.[40] Berdasarkan tujuan filosofis tersebut, maka nilai kemanfaatan dari undang-undang adalah undang-undang tersebut memberikan kontribusi bagi penataan kelembagaan hubungan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung yang dalam undang-undang terdahulu menimbulkan banyak permasalahan dan undang-undang dibentuk untuk mengatasi masalah[41] jadi Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 dibentuk untuk mengatasi permasalahan kekosongan hukum dan konflik Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
Ketiga, Putusan Mahkamah Konstitusi No.018/PUU-I/2003 mengenai pengujian Undang-Undang No.45 Tahun 1999, pengujian undang-undang a quo didasarkan pada pertimbangan pemberlakuan materi atau substansi Undang-undang a quo yang secara keseluruhan menimbulkan ketidakpastian hukum dan secara sosial politis dapat menciptakan konflik sosial antar masyarakat Papua. Pada intinya pengujian ini adalah bahwa undang-undang yang berorientasi pada tata nilai yang berlaku (kosmologi Indonesia) dan berkeadilan, bermanfaat, dan berkepastian hukum dalam masyarakat. Pengujian keberlakuan ini di dasari pemahaman bahwa terdapat syarat sosiologis yang mewajibkan setiap undang-undang harus sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat demi terselenggaranya Negara Hukum Pancasila yang sejahtera, adil dan demokratis yang mampu mengayomi segenap masyarakat Indonesia.[42] Jika ada undang-undang yang dapat menciptakan konflik sosial di masyarakat, maka undang-undang tersebut harus dibatalkan.
Dalam putusan tersebut konflik sosial disebabkan adanya benturan hukum antara Undang-Undang No.45 Tahun 1999 dan Undang-undang No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Pandangan M. Fajrul Falaakh bahwa fungsi hak menguji berlaku terhadap produk hukum non peradilan, hak menguji ini untuk menilai kesesuaian suatu peraturan perundang-undangan dengan peraturan lain, baik yang kedudukannya lebih tinggi (sinkronisasi vertikal) maupun sederajat (sinkronisasi horisontal).[43] Merujuk pada pendapat tersebut, Penulis berkesimpulan bahwa Mahkamah Konstitusi berhak menguji beberapa undang-undang yang saling bertentangan (pertentangan antara norma dalam undang-undang yang satu dengan yang lainnya) terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, sebab benturan antar undang-undang tersebut akan menyebabkan tersumbatnya tujuan dalam berbangsa dan bernegara, dan tentunya akan merusak bangunan persatuan dan kesatuan Indonesia. Rusaknya bangunan hukum yang sederajat tersebut lebih lanjut dapat bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, baik nilai keadilan, kemanfaatan, maupun kepastian hukum yang adil.
Dalam pengujian undang-undang ini, Hakim Mahkamah Konstitusi adalah penjaga nilai-nilai Pancasila yang hidup di dalam masyarakat atau dapat menjadi perumus dari nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (living of constitution)[44] ini merupakan terobosan hukum berkeadilan substantif, bahwa dalam pengujian undang-undang tidak hanya menggunakan pendekatan tekstual saja tetapi kontekstual kemasyarakatan yang sangat berkaitan dengan dimensi keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat. Penggunaan pendekatan sosiologis ini ada benarnya, merujuk pada pandangan Satjipto Rahardjo yang meyakini bahwa tidak ada rumusan satu undang-undang pun yang absolut benar, lengkap, dan komprehensif. Oleh karena itu, menurut Satjipto penafsiran hukum merupakan sebuah ”sarana” yang dapat menjembatani kekurangan aturan objek yang dirumuskan dengan perumusannya, untuk itu menurut Satjipto penafsiran hukum progresif dibutuhkan untuk kembali memanusiakan aturan hukum yang sangat kaku (formal).
Cara itu berguna agar hukum mampu mencapai kehendak tertinggi dari keinginan manusia di dunia yaitu kebahagian. Hukum berfungsi mencapai harapan-harapan tersebut, menurut Satjipto hendaknya hukum bisa memberikan kebahagian kepada rakyat dan bangsanya. Untuk mencapai kebahagian itu, hukum sebagai alat harus mampu dipraktikkan secara luar biasa dan progresif. Masyarakat memang membutuhkan ketertiban serta keteraturan, sebab itu masyarakat membutuhkan hukum. Namun ketertiban hukum tidak harus menghalangi manusia untuk bertindak progresif agar hukum menjadi hidup dan menyentuh aspek-aspek keadilan di masyarakat.[45]
Berdasarkan uraian putusan di atas, dapat disederhanakan bahwa makna bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 yaitu adanya norma hukum baik materi (materiil) maupun proses pembentukannya (formil) yang tidak sesuai/ berbeda dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945, ketidaksesuaian atau perbedaan tersebut yang menyebabkan peraturan di bawahnya tidak memiliki landasan keberlakuan, sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Hal ini tentunya berlandaskan pemikiran bahwa Pancasila sebagai dasar, ideologi dan filsafat bangsa dan negara, serta merupakan sumber dari segala sumber hukum negara, sehingga setiap materi peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila[46] dan  Pasal-pasal dalam UUD 1945 merupakan kritalisasi nilai-nilai Pancasila yang tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Intinya dalam konteks ini bahwa Pancasila merupakan tolok ukur constitutional review, Pancasila yang dimaksud adalah Pancasila sebagaimana termuat dalam Pembukaan UUD 1945.[47]  Nilai-nilai Pancasila dalam pengujian undang-undang bersifat fleksibel sehingga lebih mudah mencapai keadilan substantif, lebih mudah mewujudkan tujuan hukum yang berkeadilan, berkemanfaatan, dan berkepastian hukum. Pancasila dapat dijadikan tolok ukur dalam menilai dan menguji keberlakuan sebuah undang-undang dalam masyarakat, menilai benturan hukum antar undang-undang yang dapat menyebabkan tidak berjalannya negara hukum Pancasila, dan hal-hal lain yang tidak terkungkung oleh teks.
Menggunakan Pancasila sebagai tolok ukur pengujian undang-undang memiliki kelebihan: (1) lebih mengutamakan penegakan keadilan, kemanfataan, dan kepastian hukum sesuai jiwa konstitusi, dengan alasan bahwa Pancasila menekankan pentingnya adil dan keadilan. (2) Merujuk pada hasil penelitian PusaKo, bahwa pengujian oleh lembaga yudisial merupakan suatu instrumen pengawasan terhadap penuangan Pancasila di dalam peraturan perundang-undangan, agar undang-undang tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan falsafah bangsa (Pancasila),[48] baik substansi maupun prosedur pembuatannya. (3) Tolok ukur Pancasila akan mewujudkan makna sesungguhnya tentang pengujian norma hukum yang melindungi sistem nilai fundamental bangsa Indonesia, dalam hal ini tidak terbatas pada teks belaka tetapi lebih mengacu pada kontekstualisasi nilai-nilai Pancasila; (4) lebih mudah dalam mewujudkan negara hukum Pancasila, dan implementasi elemen-elemen dalam negara hukum Pancasila.

C.      Rancangan Pengujian Formil Dalam Praktek Makamah Konstitusi
Peraturan perundang-undangan tersusun secara hierarkis, hierarkisitas dalam suatu sistem yang berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang sekaligus berkelompok-kelompok, berlaku, bersumber dan berdasar pada peraturan yang lebih tinggi, dan peraturan yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada peraturan yang lebih tinggi pula, demikian seterusnya sampai pada suatu norma dasar negara (Staatfundamentalnorm) Republik Indonesia, yaitu: Pancasila. Hierarki peraturan perundang-undangan tersebut bertujuan menentukan derajatnya masing-masing, dengan konsekuensi jika ada peraturan yang bertentangan maka yang dinyatakan berlaku adalah peraturan yang derajatnya lebih tinggi. Penyelelesaian konflik norma ini didasarkan pada asas lex superiori derogat legi inferiori (hukum yang derajatnya lebih tinggi mengesampingkan hukum yang derajatnya lebih rendah).
Untuk menjaga heirarkisitas peraturan perundang-undangan di Indonesia diperlukan mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan yang berfungsi untuk menilai sekaligus menentukan pertentangan norma hukum tersebut. Berdasarkan Pasal 24C UUD 1945, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan menguji Undang-undang terhadap UUD, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir sah terhadap undang-undang dasar atau konstitusi (the legitimate interpreter of the constitution),[49] yang kewenangannya meliputi pengujian formil dan pengujian materiil. Ketentuan tersebut diperkuat dengan adanya Undang-undang No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 10 menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji  undang-undang  terhadap UUD 1945, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.
Pasal 51 ayat (3) Undang-undang No.24 Tahun 2003 mengatur bahwa pemohon wajib menguraikan dengan jelas mengenai pembentukan undang-undang yang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945 (bertentangan dengan UUD 1945). Konsekuensinya jika pembentukan undang-undang tidak sesuai dengan UUD 1945, maka undang-undang yang diuji tersebut harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasal 4 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi No.06/PMK/2005 mengatur mengenai pengujian formil, yaitu pengujian undang-undang yang berkenaan dengan proses pembentukan undang-undang dan hal-hal yang tidak termasuk pengujian materiil. Kalimat terakhir “hal-hal yang tidak termasuk pengujian materiil” dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi tersebut maknanya termasuk aspek keberlakuan sebuah undang-undang.[50]
Ketentuan tersebut merupakan desain pengujian formil yang masih menimbulkan berbagai problem dan mengalami pergeseran dalam praktiknya: Pertama, filosofi pengujian formil adalah memberikan penilaian konstitusionalitas terhadap pembentukan undang-undang, dalam arti menilai kesesuaian fakta pembentukan undang-undang terhadap UUD 1945. Yang menjadi persoalan, undang-undang yang lahir sebelum amandemen UUD 1945 akan diuji terhadap konstitusi yang mana, diuji berdasarkan konstitusi yang melandasi/ membentuk atau terhadap konstitusi positif (UUD 1945). Kedua, belum adanya desain penggunaan non konstitusi sebagai tolok ukur pengujian formil, non konstitusi memang diperbolehkan sebagai tolok ukur berdasarkan praktik Mahkamah Konstitusi melalui pengujian formil (pengujian Undang-undang No.3 Tahun 2009) dan materiil (pengujian Undang-Undang No.8 Tahun 2011), namun belum disertai desain yang tepat dan benar sebab jika tidak akan mengkacaukan pemahaman pertentangan norma hukum undang-undang terhadap UUD 1945. Ketiga, luasnya makna pertentangan norma hukum, hal ini disebabkan belum adanya kriteria yang jelas mengenai sebuah norma yang dinyatakan bertentangan secara formil, sebagai contoh pengujian Undang-undang No. 3 Tahun 2009 yang dalam pandangan Mahkamah Konstitusi dianggap cacat prosedural tetapi tidak dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dengan alasan demi asas kemanfaaatan, artinya dalam hal ini pertentangan norma hukum secara formil dapat disimpangai oleh materi undang-undang. Berdasar permalasahan tersebut, kajian ini hadir untuk mengurai benang kusut yang masih menjadi problem pergeseran desain pengujian formil undang-undang terhadap Undang-undang Dasar 1945.

C.1 Pemahaman Pengujian Formil
Pengujian formil (formeele toetsing) merupakan pengujian atas suatu produk hukum yang bukan dari segi materinya, Sri Soemantri mendefenisikan pengujian formil atau hak uji formil adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana yang telah ditentukan/ diatur dalam peraturan perundang-undangan berlaku atau tidak,[51] sedangkan Harun Alrasid mengemukakan bahwa hak menguji formil adalah mengenai prosedur pembuatan undang-undang.[52] Sementara Mahfud MD mengemukakan bahwa uji formal berkenaan dengan prosedurnya yang dianggap melanggar atau salah, kesalahan prosedur dan atau mekanisme (misalnya pembuatannya tidak menurut tingkat-tingkat pembahasan atau tidak kuorum).[53]
M. Fajrul Falaakh mengemukakan bahwa hak menguji formal (prosedural) untuk menentukan benar tidaknya cara menerbitkan suatu peraturan perundang-undangan,[54] atau wewenang untuk menilai apakah suatu produk hukum telah memenuhi semua prosedur (procedure) pembentukannya sebagaimana telah ditentukan/ diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak. Jadi yang diuji dalam pengujian formil adalah prosedur pembentukan suatu peraturan perundang-undangan, misalnya dalam proses penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang diharuskan memenuhi syarat “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang itu harus dicabut jika ditolak oleh DPR (Pasal 22 UUD 1945).[55]
Pemahaman lebih luas mengenai pengertian pengujian formil disampaikan oleh Jimly Asshiddiqie, bahwa pengujian dilakukan terhadap form atau format dan aspek-aspek formalisasi substansi norma yang diatur itu menjadi bentuk hukum tertentu menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga substansi norma hukum yang dimaksud menjadi mengikat untuk umum. Aspek format, formal, dan formalisasi itu sendiri cukup luas cakupannya, yaitu mulai dari proses persiapan berupa perancangan sampai pada tahap pengundangan dan bahkan pemberlakuan suatu norma menjadi norma yang mengikat untuk umum.[56] Dalam pandangannya bahwa pengujian formil tidak hanya mencakup proses pembentukan undang-undang dalam arti sempit, tetapi juga mencakup pengujian mengenai aspek bentuk undang-undang, dan pemberlakuan undang-undang yang tidak lagi tergolong sebagai bagian dari proses pembentukan undang-undang,[57] juga dijelaskan bahwa pengujian formil berkaitan dengan soal-soal prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membentuknya.[58]
Pengertian yang dapat dikembangkan dalam rangka pemahaman terhadap konsepsi pengujian formil itu bersifat sangat kompleks, secara umum kriteria yang dapat dipakai untuk menilai suatu objek pengujian (undang-undang terhadap Undang-undang Dasar) dari segi formalnya (formeele toetsing) adalah sejauh mana peraturan di atas ditetapkan dalam bentuk yang tepat (appopriate form), oleh institusi yang tepat (appopriate institution) dan menurut prosedur yang tepat (appopriate procedure). Penjabaran dalam beberapa hal: (1) pengujian atas pelaksanaan tata cara dan prosedur pembentukan undang-undang, baik dalam hal pembahasan maupun dalam pengambilan keputusan atas rancangan suatu undang-undang menjadi undang-undang; (2) pengujian atas bentuk, format, atau struktur undang-undang; (3) pengujian yang berkenaan dengan keberwenangan lembaga yang mengambil keputusan dalam proses pembentukan undang-undang; (4) pengujian atas hal-hal yang lain yang tidak termasuk pengujian materiil. Keempat kategori pengujian formil tersebut di atas, dapat disederhanakan menjadi dua kelompok, yaitu: pengujian atas proses pembentukan undang-undang dan pengujian atas hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil.[59]

C.2 Dinamika Pemahaman Pengujian Formil
            Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945 mengatur ketentuan tentang Mahkamah Konstitusi yang berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Kalimat akhir “menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar” memunculkan pertanyaan yuridis, apakah seluruh undang-undang diuji terhadap Undang-Undang Dasar yang melandasi pembentukannya atau Undang-Undang Dasar positif (UUD 1945 hasil amandemen). Pertanyaan ini muncul seiring adanya pembatalan Pasal 50 Undang-undang No.24 Tahun 2003 yang mengatur pembatasan undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi.
Terdapat dua konsekuensi terkait hal di atas, yaitu: Pertama, jika undang-undang sebelum amandemen diuji berdasarkan konstitusi yang melandasi tentu menyebabkan permasalahan hukum. Yang menjadi pertanyaan, apakah tepat undang-undang yang masih berlaku diuji terhadap Undang-undang Dasar yang sudah tidak berlaku? Menurut penulis hal tersebut tidak tepat, secara logika bahwa dengan adanya perubahan UUD 1945 berarti terdapat suatu tertib hukum baru (new legal order) yang mengakibatkan tertib hukum yang lama (old legal order) kehilangan daya lakunya. Kedua, jika pengujian formil terhadap undang-undang yang lahir sebelum amandemen diuji berdasarkan UUD 1945, tentu proses pembentukannya berbeda, apalagi setelah terbitnya Undang-undang No.10 Tahun 2004 dan Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dalam praktik terdapat putusan Mahkamah Konstitusi yang menjadikan Undang-undang Dasar yang sudah tidak berlaku sebagai batu uji/ tolok ukur yang kemudian menyebabkan kebuntuan dan ketidakpastian hukum. Putusan Mahkamah Konstitusi No.018/PUU-I/2003 perihal Pengujian Undang-Undang No. 45 Tahun 1999 tentang Pemekaran Propinsi Irian Jaya dan dan Putusan Mahkamah Konstitusi No.8/PUU-VII/2010 perihal Pengujian Undang-Undang No. 6 Tahun 1954 Tentang Penetapan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat merupakan bukti bahwa Undang-undang Dasar yang sudah tidak berlaku sebagai batu uji. Dalam dua Putusan Mahkamah Konstitusi, pengujian undang-undang dengan batu uji/ tolok ukur “konstitusi yang tidak berlaku” tidak mampu memberikan solusi terhadap problem konstitusionalitas undang-undang, namun kemudian dinilai kembali dengan menggunakan batu uji terhadap konstitusi positif dan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Dinamika pemahaman pengujian formil dalam hal ini ditandai adanya pengujian keberlakuan sebuah undang-undang sebagai bagian dari pengujian formil, hal ini merujuk Pasal 4 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi No.06/PMK/2005 yang mengatur bahwa “pengujian formil adalah pengujian undang-undang yang berkenaan dengan proses pembentukan undang-undang dan hal-hal yang tidak termasuk pengujian materiil”, oleh Mahkamah Konstitusi kalimat terakhir dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi tersebut maknanya termasuk aspek keberlakuan sebuah undang-undang. Jimly Asshiddiqie[60] dan Asosiasi Hukum Acara Mahkamah Konstitusi[61] juga menggolongkan putusan Mahkamah Konstitusi No.018/PUU-I/2003 yang menitikberatkan pengujian keberlakuan Undang-undang No. 45 Tahun 1999 tentang Pemekaran Propinsi Irian Jaya sebagai bagian dari pengujian formil dengan mendasarkan argumen bahwa pengujian formil termasuk pengujian atas hal-hal yang tidak termasuk dalam pengujian materiil, termasuk di dalamnya pengujian keberlakuan.
Sekalipun pengujian keberlakuan dinilai oleh Mahkamah Konstitusi dan beberapa pakar sebagai perkembangan pengujian formil, namun Penulis memiliki pandangan berbeda dengan pendapat di atas, sebab dalam pengujian Undang-undang No. 45 Tahun 1999 justru pengujian didasarkan pada pertimbangan materi atau substansi undang-undang yang secara keseluruhan menimbulkan ketidakpastian hukum dan secara sosial politis dapat menciptakan konflik dalam masyarakat. Jadi konstitusionalitas yang dipersoalkan dalam pengujian ini adalah materi muatan undang-undang yang jika diterapkan menyebabkan ketidakpastian hukum dan konflik sosial di masyarakat, bukankah ini bagian dari pengujian materiil, dengan materinya/ substansinya yang dijadikan fokus pengujian dan materinya yang secara konstitusional bermasalah.

C.3 Pergeseran Tolok Ukur
Kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, yang tolok ukurnya adalah Pembukaan (Pancasila) dan Pasal-Pasal Undang-Undang Dasar 1945. Maria Farida memiliki pandangan bahwa UUD 1945 terdiri atas dua kelompok norma, pembukaan dan batang tubuh (pasal-pasal). Pembukaan UUD dimaknai sebagai staatsfundamental norm atau norma fundamental negara, sedangkan batang tubuh (pasal-pasal) dimaknai sebagai staatsgrundgezts atau aturan dasar negara. Terkait dengan fungsi Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD menyatakan bahwa tugas utamanya adalah menegakkan konstitusi, sehingga dalam praktik selalu mengutamakan ketentuan konstitusional berdasarkan UUD 1945. Dalam melaksanakan fungsi tersebut, ketika Mahkamah Konstitusi menemukan undang-undang yang nyata-nyata bertentangan dengan konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi akan mengutamakan penegakan keadilan sesuai jiwa konstitusi, dengan alasan bahwa Pancasila menekankan pentingnya adil dan keadilan.[62]
Pancasila menjadi “tolok ukur” dan “batu uji” utama, sehingga dapat menguji Undang-undang langsung terhadap Pancasila atau Pembukaan UUD 1945, dalam praktik Mahkamah Konstitusi Pancasila diterjemahkan dalam putusan-putusan sebagai bentuk-bentuk penemuan keadilan substantif. Dalam hal ini, antara yang formal-prosedural dan/ atau substantif, Mahkamah Konstitusi memilih yang lebih adil sesuai dengan karakter kasus yang spesifik. Merujuk pada hasil penelitian PusaKo, bahwa pengujian oleh lembaga yudisial merupakan suatu instrumen pengawasan terhadap penuangan Pancasila di dalam peraturan perundang-undangan, agar undang-undang tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan falsafah bangsa.[63]
Persoalan akan muncul jika ketentuan Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945 tidak mengatur secara rinci atau mendelegasikan pengaturan kepada peraturan di bawahnya, maka untuk mewujudkan keadilan dalam putusan diperlukan tolok ukur lainnya, yakni non konstitusi. Non konstitusi dalam arti seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan di luar Undang-Undang Dasar 1945 (Konstitusi) baik Pembukaan maupun Pasal-Pasalnya, seperti: Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Propinsi dan Kabupaten/ Kota, Peraturan Tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat, dan lainnya, termasuk juga Putusan Pengadilan.
Landasan pemikiran yang dibangun Mahkamah Konstitusi tertuang dalam Putusan No. 49/PUU-IX/2011 perihal pengujian Undang-Undang No.8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu:[64] Mahkamah Konstitusi mengadili suatu Undang-Undang wajib menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat berdasarkan UUD 1945 sebagai hukum dasar tertinggi maupun Undang-Undang sebagai penjabaran dari UUD 1945. Pelarangan terhadap Mahkamah untuk menggunakan Undang-Undang lain sebagai dasar pertimbangan hukum adalah mereduksi kewenangan Mahkamah sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Penggunaan Undang-Undang lain sebagai dasar pertimbangan hukum justru untuk menciptakan kepastian hukum yang adil sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.[65]
Dalam Putusan No. 49/PUU-IX/2011, Mahkamah Konstitusi tidak menguraikan secara jelas mengenai penggunaan non konstitusi baik dalam pengujian formil atau pengujian materiil. Penulis berpendirian bahwa ketentuan non konstitusi dapat dijadikan sebagai tolok ukur dalam pengujian formil dan hanya terbatas pada pengujian formil, sementara dalam pengujian materiil ketentuan non konstitusi tidak dapat dijadikan tolok ukur. Hal ini yang membedakan desain praktik pengujian materiil dan formil, dalam desain pengujian materiil diperbolehkan menggunakan pendekatan penafsiran hukum, sementara dalam pengujian formil pendekatan penafsiran hukum tidak boleh dilakukan, sebab yang dinilai dalam pengujian formil adalah fakta proses pembentukan undang-undang yang dilakukan oleh DPR dan/ atau Presiden, maupun dalam lingkup pembahasan internal kelembagaan pembentuk undang-undang.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang menggunakan ketentuan non konstitusi sebagai tolok ukur, misalnya Putusan Putusan No. 001-021-022/PUU-I/2003 perihal Pengujian Undang-Undang No.20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dan Putusan No. 27/PUU-VII/2009 perihal Pengujian Undang-undang No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Dalam arti bahwa tolok ukur dalam pengujian formil Undang-undang terhadap UUD 1945 yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi lebih luas tidak hanya Pembukaan dan Pasal-Pasal UUD 1945, non konstitusi juga dapat dijadikan tolok ukur dalam menilai konstitusionalitas Undang-undang.
Merujuk pendapat Mahkamah dalam Putusan No.27/PUU-VII/2009 bahwa “jika tolok ukur pengujian formil harus selalu berdasarkan pasal-pasal UUD 1945 saja, maka hampir dapat dipastikan tidak akan pernah ada pengujian formil karena UUD 1945 hanya memuat hal-hal prinsip dan tidak mengatur secara jelas aspek formil proseduralnya”. Pendapat Mahkamah bahwa “hanya” berdasar Peraturan Tata Tertib DPR sajalah dapat dipastikan apakah DPR telah menyetujui atau menolak RUU, tanpa adanya Peraturan Tata Tertib DPR, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan karena UUD 1945 tidak mengatur tata cara pengambilan keputusan DPR, maka Peraturan Tata Tertib DPR merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam implementasi UUD 1945.[66]
Berdasar kalimat di atas kiranya perlu diperjelas mengenai penggunaan non konstitusi, M. Fajrul Falaakh juga mempertanyakan sejauh mana pengujian formil terhadap pembentukan Undang-undang harus mengikuti peraturan non konstitusi?[67] Menurut penulis, pendapat Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No.27/PUU-VII/2009 kuranglah tepat, hanya berdasar Peraturan Tata Tertib dapat dilakukan pengujian formil menunjukan bahwa “seolah-olah” Peraturan Tata Tertib sudah sesuai dengan konstitusi dan jika Peraturan Tata Tertib tersebut tidak ada, maka pengujian formil tidak dapat dilakukan.
Ketentuan non konstitusi dapat diterapkan dengan sekurang-kurangnya terdapat 3 (tiga) syarat: Pertama, tolok ukur non konstitusi lahir dari ketentuan Pasal-Pasal UUD 1945 dan sesuai dengan semangat konstitusionalisme yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Kedua, non konstitusi merupakan konsekuensi jenjang norma hukum, yang setiap jenjangnya memiliki batasan materi yang berbeda, sehingga pengaturan hal-hal yang khusus tersebut menjadi materi non konstitusi. Ketiga, ketentuan non konstitusi dijadikan dasar dalam menilai (tolok ukur) fakta proses pembentukan undang-undang kesesuaian terhadap semangat konstitusionalisme yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 dan khususnya Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 21, Pasal 22A Undang-undang Dasar 1945. Sebelum menggunakan tolok ukur non konstitusi, sebaiknya dalam pengujian formil harus dinilai terlebih dahulu bahwa norma hukum dalam non konstitusi tersebut benar-benar merupakan norma delegasi dari Undang-undang Dasar 1945, sebab ketentuan non konstitusi tidak dapat dijadikan tolok ukur jika norma hukum dalam non konstitusi bukan merupakan norma delegasi Undang-undang Dasar 1945, apalagi jika dalam kenyataannya bahwa norma non konstitusi tersebut justru bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.


[…]

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulakan bahwa, staatsidee atau norma dasar merupaka ladasan filosofis bagi pembentukan konstitusi suatu negara. Pancasila merupakan norma dasar yang dijadikan sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia sekaligus mengungkapkan pandangan bangsa Indonesia tentang hubungan antara manusia dan Tuhan, manusia dan sesama manusia serta manusia dan alam semesta yang berintikan keyakinan tentang tempat manusia individual di dalam masyarakat dan alam semesta
Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum, berarti segala bentuk hukum di Indonesia harus diukur menurut nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, dan didalam aturan hukum itu harus tercermin kesadaran dan rasa keadilan yang sesuai dengan kepribadian dan falsafah hidup bangsa. Hukum di Indonesia harus menjamin dan menegakkan nilai-nilai yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 yang merupakan pencerminan Pancasila dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam batang tubuh UUD 1945 serta penjelasannya. Dengan demikian ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari UUD 1945. Kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara merupakan grundnorm dalam sistem hukum Indonesia yang memberikan arah dan jiwa serta menjadi paradigma norma-norma dalam pasal-pasal UUD 1945. Interpretasi norma hukum dalam UUD 1945 sebagai hukum tertinggi akan didasarkan pada jiwa bangsa dalam Pancasila yang berfungsi sebagai cita hukum yang akan menjadi dasar dan sumber pandangan hidup atau falsafah hidup bangsa yang menjadi pedoman dalam pembentukan undang-undang dan peraturan lain yang lebih rendah



DAFTAR PUSTAKA
Buku:
A.Hamid. S. Attamimi, 1990, Disertasi “Peranan Keputusan Presiden Republik  Indonesia Dalam Menyelenggarakan Pemerintahan Negara, Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I- Pelita IV, Jakarta: Program Doktor Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Indonesia.
Bagir Manan, 2003, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta: FH UII Press.
Dahlan Thaib, Ni’matul Huda, dan Jazim Hamidi, 2005, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta: Rajawali Pers.
Mahfud MD, 2009, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Jakarta: Rajawali Press.
Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya, Yogyakarta: Kanisius .
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekano, 1993, Ikthisar Antinomi: Aliran Filsafat Sebagai Landasan Filsafat Hukum, Jakarta: CV.Rajawali.
Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers.
-------, Yuliandri, Feri Amsari, Charles Simabura, Dayu Medina, dan Edita Elda 2010, Perkembangan Pengujian Perundang-undangan di Mahkamah Konstitusi (Dari Berfikir Hukum Tekstual ke Hukum Progresif), Padang dan Jakarta: Pusako FH Universitas Andalas dan Sekjend dan Kepaniteraan.
Surono dan Miftakhul Huda (ed), 2011, Implementasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Menegakkan Konstitusionalisme Indonesia (Prosiding Sarasehan Nasional 2011), Jakarta dan Yogyakarta: Mahkamah Konstitusi dan Universitas Gadjah Mada.
Suteki, 2010, Rekonstruksi Politik Hukum Hak Atas Air Pro Rakyat, Jawa Timur: Surya Pena Gemilang.
Yuliandri, 2009,  Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik: Gagasan Pembentukan Undang-undang Berkelanjutan, Jakarta: Rajawali Pers.
I Dewa Gede Palguna, 2008, Mahkamah Konstitusi, Judicial Review dan Welfare State, Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MKRI.
Jimly Asshiddiqie, 2005, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Jakarta: Konstitusi Press.
Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, 2010, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Sekjend dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Fatmawati, 2005, Hak Menguji (Toetsingrecht) Yang Dimiliki Hakim Dalam Sistem Hukum Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers.
Sri Soemantri Martosoewignjo, 1986, Hak Menguji Material di Indonesia, Bandung: Alumni.

Makalah dan Artikel :

Helmi, dalam “Kajian Terhadap Putusan Perkara No: 827/Pid.B/2005/PN.Bjm Tentang Tindak Pidana Penipuan Jual Beli Batubara, Jurnal Yudisial Vol-I/No-03/Desember/2007
Feri Amsari, dalam “Satjipto Rahardjo dalam Jagat Ketertiban Hukum Progresif, Jurnal Konstitusi, Volume 6, Nomor 2, Juli 2009
Hamdan Zoelva, dalam “ Negara Hukum Dalam Perspektif Pancasila”, dalam Agus Wahyudi, Rofiqul Umam Ahmad, Saldi Isra, Sindung Tjahyadi, dan Yudi Latif (ed), 2009, Proceeding Kongres Pancasila: Pancasila Dalam Berbagai Perspektif, Kerjasama UGM dengan Mahkamah Konstitusi, Sekjend dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Mahfud MD, dalam “Ceramah Kunci Ketua Mahkamah Konstitusi Pada Kongres Pancasila Pada Tanggal 30 Mei 2009”, Agus Wahyudi, Rofiqul Umam Ahmad, Saldi Isra, Sindung Tjahyadi, dan Yudi Latif (ed), Proceeding Kongres Pancasila: Pancasila Dalam Berbagai Perspektif, Jakarta: Sekjend dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2009, hlm.12-13
M. Hatta Ali, dalam “Peran Hakim Agung Dalam Penemuan Hukum (Rechtsvinding) dan Penciptaan Hukum (Rechtsschepping) Pada Era Reformasi dan Trasformasi”, Bunga Rampai Komisi Yudisal dan Reformasi Peradilan, Komisi Yudisial, Jakarta
Satya Arinanto, dalam “Negara Hukum Dalam Perspektif Pancasila”, Agus Wahyudi, Rofiqul Umam Ahmad, Saldi Isra, Sindung Tjahyadi, dan Yudi Latif (ed), 2009, Proceeding Kongres Pancasila: Pancasila Dalam Berbagai Perspektif, Kerjasama UGM dengan Mahkamah Konstitusi, Sekjend dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi




[1] Indonesia, Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No. 12 Tahun 2011, Pasal 2
[2] Lihat Mohamad Mahfud MD, “Peran Mahkamah Konstitusi dalam Mengawal dan Mempertahankan Nilai-Nilai Pancasila Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen”, Jurnal Sekretariat Negara RI, No. 24 Tahun 2012, hal. 48
[3] Lihat dalam Arief, B. Sidharta, Refleksi Tentang Ilmu Hukum: Sebuah Penelitan tentang fundasi kefilsafatan dan sifat keilmuan Ilmu Hukum sebagai landasan pembangunan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1999), hal. 47.
[4] Substansi Pancasila dengan kelima silanya yang terdapat pada Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan pada prinsipnya mengandung kualitas tertentu merupakan cita-cita dan harapan yang ditujukan bagi bangsa Indonesia untuk diwujudkan bagi kenyataan real dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Lihat dalam Kaelan, “Filsafat Pancasila”, Diktat Kursus Calon Dosen Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta 2006, hal. 29
[5] Moh. Mahfud MD, op. Cit., Hal. 49
[6] Mahkamah Konstitusi, Laporan Tahunan Mahkamah Konstitusi RI 2014: Menegakkan Konstitusionalisme Dalam Dinamika Politik, (Jakarta: Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, 2015), hal 49
[7] Syukri Asy’ari, Meyrinda Rahmawaty Hilipito dan Mohammad Mahrus Ali, “Model Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang (Studi Putusan Tahun 2003-2012)”, Jurnal Konstitusi, Volume 10, No. 4, Desember 2013, hal. 678
[8] Yance Arizona dkk, Pancasila Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Epistime Institut, Yayasan Tifa, 2014), hal. 105-107
[9] Lihat juga dalam Suko Wiyono, “Fungsi Cita Hukum Pancasila Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Pengujiannya”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Hukum Tata Negara pada Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang, September 2015, hal. 37
[10] Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya, Yogyakarta: Kanisius, 1998, hlm.39
[11] Mahfud MD, Pancasila Sebagai Tonggak Konvergensi Pluralitas Bangsa, Sarasehan Nasional 2011 “Impelementasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Menegakkan Konstitusionalisme Indonesia, Yogyakarta dan Jakarta: UGM dan MKRI, 2011, hlm 17
[12] Lihat Pasal 2 dan Penjelasannya dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
[13] Bagir Manan, Fungsi dan Materi Perundang-undangan, Makalah, (Jakarta: 1994), hal. 2
[14] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 85
[15] Suko Wiyono, Op. Cit, hal. 19
[16] Atmadja, “Membangun Hukum Indonesia: Paradigma Pancasila”, dalam Membangun Negara Hukum Yang Bermartabat, (Setara Press: Malang, 2013)
[17] Jimly Asshiddiqie, Judicial Review, Kajian Usulan Permohonan Hak Uji Materiil terhadap PP No. 19  Tahun 2000 tentang TGPTPK, Dictum Jurnal Kajian Putusan Pengadilan, Edisi I, Jakarta, 2002, hal. 36
[18] Martosoewignjo, Sri Sumantri, Hak Menguji Material di Indonesia, (Alumni: Bandung, 1997), hal. 11
[19] Jimly, Op. Cit, hal. 35
[20] Ibid., Hal. 36
[21] Ibid., Hal 31
[22] Moh. Mahfud, Pancasila sebagai Hasil Karya dan Milik Bersama, Makalah pelengkap atas naskah “Keynote Speech” pada Konggres Pancasila yang diselenggarakan dalam bentuk kerjasama antara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Universitas Gajahmada, 30 Mei 2009, Yogyakarta, hal. 8
[23] Mahfud MD, dalam “Ceramah Kunci Ketua Mahkamah Konstitusi Pada Kongres Pancasila Pada Tanggal 30 Mei 2009”, Agus Wahyudi, Rofiqul Umam Ahmad, Saldi Isra, Sindung Tjahyadi, dan Yudi Latif (ed), Proceeding Kongres Pancasila: Pancasila Dalam Berbagai Perspektif, Jakarta: Sekjend dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2009, hlm.12-13
[24] Maria Farida Indrati Soeprapto, Op.Cit., hlm.48
[25] Jimly Asshiddiqie, “Membangun Budaya Sadar Berkonstitusi Untuk Mewujudkan Negara Hukum Yang Demokratis”, Bahan Orasi Ilmiah Peringatan Dies Natalis ke XXI dan Wisuda 2007 Universitas Darul Ulum (Unisda) Lamongan 29 Desember 2007, hlm.6
[26] Maria Farida Indrati Soeprapto, Op.Cit., hlm.40
[27] Dahlan Thaib, Ni’matul Huda, dan Jazim Hamidi, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta: Rajawali Pers, 2005, hlm.84
[28] A.Hamid. S. Attamimi, Disertasi “Peranan Keputusan Presiden Republik  Indonesia Dalam Menyelenggarakan Pemerintahan Negara, Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I- Pelita IV, Jakarta: Program Doktor Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Indonesia, 1990, hlm.160
[29] Maria Farida Indrati Soeprapto, Op.Cit., hlm.29
[30] A. Hamid S. Attamimi, Op.Cit., hlm.159
[31] Maria Farida Indrati Soeprapto, Op.Cit., hlm.41
[32] Satya Arinanto, dalam “Negara Hukum Dalam Perspektif Pancasila”, Agus Wahyudi, Rofiqul Umam Ahmad, Saldi Isra, Sindung Tjahyadi, dan Yudi Latif (ed), Proceeding Kongres Pancasila: Pancasila Dalam Berbagai Perspektif, Jakarta: Sekjend dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2009, hlm.211
[33] Hamdan Zoelva, dalam “ Negara Hukum Dalam Perspektif Pancasila”, dalam Agus Wahyudi, Rofiqul Umam Ahmad, Saldi Isra, Sindung Tjahyadi, dan Yudi Latif (ed), Proceeding Kongres Pancasila: Pancasila Dalam Berbagai Perspektif, Jakarta: Sekjend dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2009, hlm.229
[34] Mahfud MD, dalam “ Pancasila Sebagai Dasar Ideologi Negara”, bahan pada Kuliah Umum di Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 6 Juni 2011, hlm.14-15
[35] Ibid.
[36] Mahfud MD, “Ceramah Kunci Ketua Mahkamah Konstitusi Pada Kongres Pancasila Pada Tanggal 30 Mei 2009”, dalam Agus Wahyudi, Rofiqul Umam Ahmad, Saldi Isra, Sindung Tjahyadi, dan Yudi Latif (ed), Proceeding Kongres Pancasila: Pancasila Dalam Berbagai Perspektif, Jakarta: Sekjend dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2009, hlm.12-13
[37] Suteki, Rekonstruksi Politik Hukum Hak Atas Air Pro Rakyat, Jawa Timur: Surya Pena Gemilang, 2010, hlm.19
[38] Helmi, dalam “Kajian Terhadap Putusan Perkara No: 827/Pid.B/2005/PN.Bjm Tentang Tindak Pidana Penipuan Jual Beli Batubara, Jurnal Yudisial Vol-I/No-03/Desember/2007, hlm.217
[39] M. Hatta Ali, dalam “Peran Hakim Agung Dalam Penemuan Hukum (Rechtsvinding) dan Penciptaan Hukum (Rechtsschepping) Pada Era Reformasi dan Trasformasi”, Bunga Rampai Komisi Yudisal dan Reformasi Peradilan, Komisi Yudisial, Jakarta, hlm.90
[40] Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekano, Op.Cit., hlm.5
[41] Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik: Gagasan Pembentukan Undang-undang Berkelanjutan, Jakarta: Rajawali Pers, 2009, hlm.142
[42] Surono dan Miftakhul Huda (ed), Implementasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Menegakkan Konstitusionalisme Indonesia (Prosiding Sarasehan Nasional 2011), Jakarta dan Yogyakarta: Mahkamah Konstitusi dan Universitas Gadjah Mada, 2011, hlm.218
[43] M. Fajrul Falaakh, dalam “Terobosan MA Dalam Judicial Review, Kompas 24 Juni 1993, hlm.4
[44] Saldi Isra, Yuliandri, Feri Amsari, Charles Simabura, Dayu Medina, dan Edita Elda., Op.Cit., hlm.132
[45] Feri Amsari, dalam “Satjipto Rahardjo dalam Jagat Ketertiban Hukum Progresif, Jurnal Konstitusi, Volume 6, Nomor 2, Juli 2009, hlm.181
[46] Ibid., hlm.22
[47] Moh.Mahfud MD, Pancasila sebagai...Op.Cit., hlm.27
[48] Saldi Isra, Yuliandri, Feri Amsari, Charles Simabura, Dayu Medina, dan Edita Elda., Op.Cit., hlm.162
[49] I Dewa Gede Palguna, Mahkamah Konstitusi, Judicial Review dan Walfare State, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MKRI, 2008), hlm.17
[50] Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), hlm. 95
[51] Sri Soemantri Martosoewignjo, Hak Menguji Material di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1986), hlm.28
[52] Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Op.Cit, hlm.92
[53] Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, (Jakarta, Rajawali Pers, 2009), hlm.258-259
[54] M. Fajrul Falaakh, “Menggagas Constitutional Review di Indonesia”,  Kompas, Edisi Sabtu 08 April 2000, hlm.4
[55] Dikutip dari M.Fajrul Falaakh, pendapat sebagai ahli dalam pengujian Undang-undang No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-VII/2009, hlm.40.
[56] Jimly Asshiddiqie, “Catatan Pengantar Tentang Toetsingrecht dan Judicial Review”, dalam Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingrecht) Yang Dimiliki Hakim Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), hlm.xv-xvi
[57] imly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Penerbit Yasrif Watampone, 2006), hlm.56
[58] Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingrecht) Yang Dimiliki Hakim Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), hlm.5
[59] Jimly Asshiddiqie, Op.Cit., hlm.57
[60] Ibid., hlm.63
[61] Asosiasi Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Op.Cit., hlm.92
[62] Mahfud MD, “ Pancasila Sebagai Dasar Ideologi Negara”, bahan pada Kuliah Umum di Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 6 Juni 2011, hlm.14-15
[63] Saldi Isra, Yuliandri, Feri Amsari, Charles Simabura, Dayu Medina, dan Edita Elda, Perkembangan Pengujian Perundang-undangan di Mahkamah Konstitusi (Dari Berhukum Tekstual ke Hukum Progresif), (Padang dan Jakarta: Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas dan Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), hlm.162
[64] Putusan Mahkamah Konstitusi No. 49/PUU-IX/2011 perihal Undang-Undang No.8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, hlm.73-75
[65] Putusan Mahkamah Konstitusi No. 49/PUU-IX/2011 Perihal Pengujian Undang-Undang No.8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, hlm.74
[66] Ibid., hlm.83
[67] Dikutip dari Fajrul Falaakh, Op.Cit., hlm.40