Senin, 18 Januari 2016

KEWAJIBAN NORMATIF PENGGUNAAN TENAGA PERANCANG DALAM SETIAP TAHAPAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN SEGALA KETERBATASAN DAN PROBLEMATIKA YANG DIALAMI

KEWAJIBAN NORMATIF PENGGUNAAN TENAGA PERANCANG DALAM SETIAP TAHAPAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN SEGALA KETERBATASAN DAN PROBLEMATIKA YANG DIALAMI

I.                   PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Pembangunan yang dilakukan untuk mewujudkan tujuan nasional yang diatur dalam konstitusi dasar negara kita mengakibatkan hukum semakin berperan sehingga secara sadar dan aktif hukum berperan sebagai sarana menyusun tata kehidupan. Hasim Purba mengatakan pembangunan Hukum di Indonesia diharapkan dapat memantapkan dan mengamankan pelaksanaan pembangunan, menciptakan kondisi yang membuat anggota masyarakat dapat menikmati iklim kepastian dan ketertiban hukum.[1] Sehubungan dengan hal ini jutta limbach mengatakan Ada tiga ciri utama yang menandai prinsip supremasi konstitusi, yaitu:
(i)           Pembedaan antara norma hukum konstitusi dan norma hukum lainnya;
(ii)         Keterikatan penguasa terhadap Undang-Undang Dasar;
(iii)       Adanya satu lembaga yang memiliki kewenangan untuk menguji konstitusionalitas undang-undang dan tindakan hukum Pemerintah[2].
Mahfud MD mengatakan bahwa politik seringkali  mengintervensi  pembuatan  dan  pelaksanaan hukum, sehingga tidak selalu menjamin kepastian  hukum,  penegakan hak-hak masyarakat  atau  penjamin  keadilan.  Konfigurasi  politik demokratis akan menciptakan hukum responsif, sedangkan   konfigurasi   politik   otoriter   akan  menciptakan  produk  hukum  konservatif.
Reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 telah membawa perubahan besar dan signifikan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satunya adalah perubahan yang terjadi di bidang ketatanegaraan, yaitu dengan diamandemennya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Perubahan substansi yang terdapat di dalam UUD NRI Tahun 1945 tersebut, ditandai dengan beralihnya kewenangan fungsi legislasi  yang mengakibatkan terjadi perubahan pendulum kekuasaan dalam pembentukan Undang-Undang. Sebelum perubahan UUD NRI Tahun 1945, kekuasaan pembentukan Undang-Undang ada di tangan Presiden (executive heavy)[3], setelah diadakan amandemen kekuasaan pembentukan Undang-Undang ada di tangan DPR  (legislative heavy).[4]
Perubahan pendulum kekuasaan pembentukan Undang-Undang yang saat ini berada di tangan DPR, telah merubah konstalasi dan prosedur dalam pembentukan Undang-Undang. Perubahan tersebut harus didukung tidak hanya melalui dukungan teknis administratif dari Setjen DPR, tetapi juga melalui dukungan dalam bentuk keahlian kepada DPR, baik berupa dukungan pakar dan ahli dari luar maupun pakar dan ahli dari internal DPR. Untuk dukungan keahlian dalam bidang legislasi tersebut dibentuklah Deputi Perundang-Undangan (Deputi PUU), yang di dalamnya terdapat tenaga fungsional di bidang perancangan peraturan perundang-undangan yang sering disebut Perancang Peraturan Perundang-Undangan, Perancang Undang-Undang, atau Legislative Drafter.[5]
Peran dan fungsi Perancang sejatinya memberikan dukungan keahlian dalam setiap tahapan pembentukan Undang-Undang, mulai dari tahap perencanaan, penyusunan, dan pembahasan. Walaupun mempunyai peran dan fungsi dalam pembentukan Undang-Undang, pembinaan terhadap kinerja dan karier Parancang masih terdapat beberapa problematika yang harus segera dipikirkan dan dicarikan solusi terbaik agar Perancang menjadi lebih profesional sehingga dapat memberikan kontribusi keahlian yang lebih optimal dalam mendukung fungsi legislasi DPR.
Kewajiban normatif menggunakan tenaga perancang dalam setiap tahap pembentukan peraturan diatur dalam Pasal 98 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sedangkan pengertian Perancang dijelaskan di dalam  Penjelasan Pasal 98 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011), yang menyatakan: “Yang dimaksud dengan “Perancang Peraturan Perundang-undangan” adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak, secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan menyusun Rancangan Peraturan Perundang-undangan dan/atau instrumen hukum lainnya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.”

B.     Permasalahan
Dengan adanya kewajiban normatif penggunaan tenaga Perancang dalam setiap tahapan pembentukan Peraturan Perundang-undangan dengan segala keterbatasan dan problematika yang dimiliki tenaga Perancang dalam menjalankan tugas dan fungsinya dituntut untuk memberikan kontribusi yang optimal dalam mendukung fungsi legislasi DPR
pertama             : apa saja problematika yang dihadapi Perancang dalam melaksanakan  
  tugasnya memberikan dukungan legislasi kepada DPR
kedua                : bagaimana alternatif solusi dalam menghadapi problematika tersebut.

C.     Metode
Tulisan ini membahas tentang apa dan bagaimana problematika Perancang sekaligus beberapa alternatif solusi dalam mendukung fungsi legislasi DPR. Penulis mendasarkan tulisan ini pada fakta-fakta empiris yang ada di lingkungan Setjen DPR RI yang didukung data sekunder, seperti peraturan perundang-undangan dengan mengedepankan gagasan kritis yang bersifat konseptual, sistematis, analisis, dan deskriptif.


II.              PEMBAHASAN

A.     TENAGA PERANCANG
Secara normatif peran Perancang adalah menyiapkan, melakukan, dan menyelesaikan seluruh kegiatan teknis fungsional perancangan peraturan perundang-undangan di lingkungan unit perundang-undangan instansi Pemerintah,[6] dengan tugas pokok menyiapkan, mengolah, dan merumuskan rancangan peraturan perundang-undangan dan instrumen hukum lainnya.[7] Ruang lingkup kegiatan Perancang meliputi berbagai kegiatan di bidang perancangan peraturan perundang-undangan atau yang terkait dengan bidang peraturan perundang-undangan.[8] Selain itu, Pasal 98 ayat (1) Undang-Undang tentang P3, menyatakan secara tegas bahwa setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan mengikutsertakan Perancang.[9] Perancang yang mendukung fungsi legislasi DPR berada di bawah pembinaan Deputi PUU Setjen DPR-RI. Adapun lingkup dari tugas Perancang yang terkait dengan fungsi legislasi DPR adalah pada tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan,[10] serta fungsi lain seperti menyusun keterangan DPR di persidangan MK dan peraturan perundang-undangan lainnya.[11]   
Untuk pertama kali diangkat menjadi Perancang, selain seorang Pegawai Negeri Sipil harus memenuhi persyaratan berijazah serendah-rendahnya Sarjana Hukum atau Sarjana lain dibidang hukum, pangkat serendah-rendahnya Penata Muda golongan ruang III/a, telah mengikuti dan lulus pendidikan pelatihan fungsional dibidang perancangan peraturan perundang-undangan, serta setiap unsur penilaian prestasi kerja sekurang-kurangnya bernilai baik dalam 1 (satu) tahun terakhir.[12]  Selain kriteria teknis normatif persyaratan untuk dapat diangkat menjadi seorang Perancang, terkait dengan tugasnya sehari-hari seorang Perancang harus memiliki kriteria:
1.      memiliki penalaran dan logika hukum yang kuat serta pengetahuan yang    baik mengenai asas-asas hukum dan perundang-undangan;
2.      menguasai teknik dan lampiran Undang-Undang tentang P3 dengan baik;
3.      mampu mengidentifikasi permasalahan bernegara dan kebutuhan hukum dimasyarakat, untuk selanjutnya memberikan alternatif solusi di dalam format/sistematika RUU;
4.      mampu menganalisis permasalahan bernegara dan kebutuhan hukum di masyarakat dengan kondisi peraturan perundang-undangan yang berlaku, untuk kemudian mengharmonisasikan dan mensinkronkan substansi pengaturannya dengan RUU yang sedang disusun;
5.      dapat berargumentasi dan mempertahankan pendapat dan pemikirannya secara lugas, terstruktur, dan sistematis, akan tetapi terbuka dengan pemikiran yang lebih baik; dan
6.      lebih disukai memiliki pengetahuan dibidang lain selain dibidang   perancangan yang mampu menunjang fungsinya.

B.   KETERBATASAN DAN PROBLEMATIKA PERANCANG
Setelah mengetahui siapa Perancang dan apa yang menjadi tugas serta fungsinya, selanjutnya ingin dipaparkan keterbatasan dan problematika yang dihadapi Perancang berdasarkan pengalaman serta pengamatan dalam menjalankan tugas mendukung fungsi legislasi DPR, yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1.       Paradigma Tenaga Perancang
Problematika yang terkait dengan peran Perancang dan merupakan salah satu permasalahan yang prinsipil adalah paradigma terhadap Perancang itu sendiri. Masih terdapat perbedaan sudut pandang atau perspketif mengenai siapa itu Perancang dikaitkan dengan pembinaan Perancang di dalam bidang tertentu sesuai dengan lingkup dan tugas masing-masing alat kelengkapan atau bidang kementerian yang ada di DPR. Perbedaan perspektif tersebut tidak hanya terjadi diantara stakeholder, namun juga diantara Perancang sendiri. Perancang adalah orang yang seharusnya dituntut untuk ahli atau profesional dibidang perancangan peraturan perundang-undangan, bukan dibidang yang lain. Seorang Perancang itu adalah sarjana hukum plus, artinya tidak hanya lulusan sarjana hukum atau yang disamakan, tapi juga telah mendapatkan pendidikan dan pelatihan mengenai perancangan peraturan perundang-undangan, sehingga kapasitas dan kemampuan setiap Perancang adalah sama.
Merujuk pengertian Perancang yang ada di dalam peraturan perundang-undangan hanya mencakup pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak, secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan menyusun Rancangan Peraturan Perundang-undangan dan/atau instrumen hukum lainnya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.[13]
Pembagian atau pengkotak-kotakan Perancang dalam bidang-bidang tertentu yang disesuaikan dengan pembidangan alat kelengkapan atau bidang tugas kementerian tertentu di DPR sangatlah tidak relevan dan berdasar, karena setiap Perancang dibutuhkan kemampuannya untuk menunjang setiap proses pembentukan RUU dalam konteks peran dan keahliannya dalam segi legal drafting bukan dalam konteks yang lain walaupun tidak menafikkan juga perlunya pemahaman Perancang akan substansi dari suatu bidang RUU yang sedang disusun.
Modal utama seorang Perancang adalah pengetahuan dan logika hukum, serta penguasaan atas asas hukum yang ditunjang dengan penguasaan dan keterampilan teknik dalam perancangan peraturan perundang-undangan sesuai dengan Undang-Undang tentang P3. Adapun penguasaan masalah substansi teknis/spesifik terkait RUU yang sedang disusun merupakan domain dari peneliti atau tenaga ahli, sehingga dapat dimaklumi jika dalam proses pembentukan Undang-Undang ketiga unsur tersebut haruslah bekerjasama dan berkolaborasi.

2.      Minimnya Jumlah Tenaga Perancang
Jumlah tenaga Perancang yang ada di Deputi PUU Setjen DPR sangat tidak memadai. Dengan semakin meningkatnya peran Perancang dalam mendukung fungsi legislasi DPR jumlah tenaga Perancang yang ada sangatlah minim, karena setiap Perancang ditugasi untuk mengikuti semua proses pembentukan Undang-Undang yang ada di semua alat kelengkapan DPR.[14]  Sehingga tidak jarang seorang Perancang memiliki beban kerja[15] sebanyak 6 (enam) sampai dengan 10 (sepuluh) RUU atau bahkan lebih yang harus ditangani dalam waktu yang bersamaan. Padahal idealnya seorang Perancang hanya memiliki beban kerja sebanyak 2 (dua) sampai dengan 4 (empat) RUU dalam waktu yang bersamaan.
Beratnya beban kerja terkait jumlah RUU yang harus ditangani oleh masing-masing Perancang akan berimplikasi kepada peran Perancang yang bersangkutan dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Artinya semakin banyak beban tugas yang diberikan, akan semakin berkurang fokus dan konsentrasi Perancang dalam mengerjakan tugas-tugasnya, karena yang bersangkutan dituntut untuk dapat membagi waktu dan menentukan skala prioritas, begitu pun sebaliknya. Di sisi lain, tuntutan DPR akan dukungan keahlian di bidang legislasi semakin tinggi, sehingga Perancang dituntut untuk dapat bekerja secara optimal. Untuk itu jumlah Perancang yang ada saat ini masih jauh dari optimal, sehingga kedepan harus ada penambahan jumlah Perancang yang disesuaikan dengan beban legislasi DPR.

3.      Kewajiban Normatif Penggunaan Tenaga Perancang
Beberapa problematika yang terkait dengan keberlakuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu: 
Pertama            : walaupun di dalam ketentuan Pasal 98 ayat (1) Undang-Undang tentang
  P3 menyatakan di dalam setiap tahapan pembentukan Undang-Undang harus   
  mengikutsertakan Perancang[16] tetapi masih terdapat beberapa kegiatan  
  pembentukan Undang-Undang yang tidak mengikutsertakan Perancang, atau
  keterlibatan Perancang dilakukan tidak disemua tahapan dalam proses
  pembentukan RUU. Hal ini akan berpotensi RUU yang sedang dibentuk akan
  mengalami kelemahan dari segi bahasa perundang-undangan maupun teknik legal
  drafting-nya. 
Kedua               : ketentuan  Pasal 98 ayat (2) mengatur bahwa keikutsertaan dan pembinaan
Perancang diatur dengan Peraturan Pemerintah[17]. Ketentuan pasal tersebut  
menimbulkan pertanyaan mengapa yang diatur “keikutsertaan” dalam
pembentukan Undang-Undang hanyalah Perancang, padahal Pasal 99 Undang-
Undang tentang P3[18] menyatakan dalam tahapan pembentukan Undang-
Undang selain Perancang juga mengikutsertakan peneliti dan tenaga ahli, tapi
mengapa keikutsertaan peneliti dan tenaga ahli di dalam pembentukan Undang-
Undang tidak diatur di dalam Peraturan Pemerintah. Norma tersebut berpotensi
untuk memberikan perlakuan yang berbeda (diskriminatif) terhadap pihak yang
mendukung dalam proses pembentukan Undang-Undang.
Ketiga               : ketentuan Pasal 99 mengenai keikutsertaan peneliti dan tenaga ahli
  menimbulkan interpretasi, apakah “peneliti dan tenaga ahli” yang terlibat dalam
  pembentukan Undang-Undang sudah merujuk pada “status” atau
  “fungsi/keahliannya”. Hal ini memiliki konsekuensi yang berbeda, karena  
  apabila   merujuk kepada status, setiap orang yang berstatus sebagai peneliti atau  
  tenaga ahli dapat ikut serta dalam setiap tahapan pembentukan Undang-Undang
  tanpa mempermasalahkan apakah latar belakang pendidikan dan/atau
  kemampuannya sesuai dengan kebutuhan RUU yang sedang dibentuk. Di sisi
  lain, apabila merujuk kepada keahliannya maka hanya peneliti dan tenaga ahli
  yang sesuai latar belakang pendidikan dan/atau kemampuannya yang dapat
  diikutsertakan dalam penyusunan RUU, karena kontribusi dan masukannya
  memang dibutuhkan sesuai dengan latar belakang pendidikan dan/atau keahlian
  peneliti dan tenaga ahli yang bersangkutan.

4.      Belum Adanya SOP Yang Baku
Saat ini belum ada mekanisme kerja atau SOP berupa standar dan prosedur kerja baku yang menyangkut uraian kegiatan dan tahapan kerja di dalam penyusunan RUU inisiatif DPR, terkait dengan perencanaan, tahapan pekerjaan, mekanisme kerja, prioritas kerja, evaluasi, koordinasi, dan lain-lain. Hal ini penting dan harus dipersiapkan terlebih dahulu agar setiap NA dan RUU yang dihasilkan dapat memenuhi standar secara legal drafting dan dapat dipertanggungjawabkan secara substansi.
Implikasi dari belum adanya mekanisme kerja yang dimaksud adalah tidak jarang bahwa pendekatan kerja yang dilakukan terhadap kegiatan pembentukan NA dan RUU adalah pendekatan yang menitikberatkan pada hasil. Artinya suatu NA dan RUU dihasilkan tanpa melalui mekanisme, tahapan, dan prosedur yang semestinya. Penerapan mekanisme dan prosedur dalam pembentukan Undang-Undang bertujuan agar output atau NA dan RUU yang dihasilkan dapat terjaga kualitas dan dapat dipertanggungjawabkan secara teknis maupun substansinya.

5.      Anggaran Pembentukan RUU
Harus disadarai bahwa proses pembentukan Undang-Undang memerlukan alur dan tahapan yang panjang, dengan melibatkan unsur pendukung yang terkadang tidak sedikit. Pada prinsipnya proses dan tahapan pembentukan Undang-Undang haruslah sesuai dengan tahapan dan prosedur serta didukung oleh sistem pendukung yang diperlukan. Tetapi dalam prakteknya terkadang dukungan anggaran tidak sesuai dengan kebutuhan.
Hal tersebut terjadi karena pada saat penyusunan anggaran pembentukan RUU terkadang tidak mengacu pada prosedur atau tahapan yang lazim dalam pembentukan Undang-Undang, tidak melibatkan pihak yang mengerti tahapan dan kebutuhan pembentukan Undang-Undang, atau dapat juga terjadi karena kurangnnya kesadaran dari pengambil kebijakan terhadap tahapan dan prosedur yang harus ditempuh, sehingga dalam pengambilan keputusannya terkadang mengabaikan tahapan dan prosedur dan kebutuhan dalam pembentukan Undang-Undang. Sering kali terjadi suatu tahapan atau prosedur yang seharusnya dilakukan dalam penyiapan Undang-Undang tidak dapat dilakukan karena tidak tersedianya anggaran. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap hasil yang dibentuk, padahal disisi lain NA dan RUU yang dihasilkan oleh sistem pendukung haruslah dapat dipertanggungjawabakan, baik secara substansi maupun teknik legal drafting kepada DPR.

6.      Dukungan Administratif dan Kelembagaan dalam Penilaian Kegiatan  Perancang
Disadari bahwa penghitungan terhadap uraian kegiatan Perancang sangat rumit dan membutuhkan ketelitian di dalam penghitungan angka kreditnya, hal ini dikarenakan uraian kerja Perancang sangat banyak dengan jumlah nominal yang sangat kecil. Seiring dengan dibentuknya Tim Penilai angka kredit Perancang secara internal maka tuntutan untuk menjadikan Perancang semakin profesional dan diakui keberadaanya dari aspek penilaian tugas yang dikerjakannya adalah dengan menjalankan sistem penghitungan angka kredit kegiatan Perancang yang semakin mendekati sistem yang telah disusun oleh Pemerintah di dalam buku panduan penghitungan jabatan fungsional Perancang.
Di sisi lain, sistem penghitungan angka kredit Perancang tersebut belum didukung dengan adanya standar pembuktian kegiatan secara administratif, terkait dengan teknis pembuktian dan pengesahan dari pejabat yang berwenang untuk membuktikan keterlibatan dan kontribusi Perancang di dalam setiap tahapan pembentukan RUU. Hal ini sangat penting agar setiap pekerjaan yang dilakukan Perancang dapat dinilai secara obyektif  dan dapat dipertanggungjawabkan, serta menghindari moral hazard sekaligus juga menjamin pembinaan terhadap karier Perancang dimasa yang akan datang.

B.     ALTERNATIF SOLUSI
Dari beberapa problematika yang telah diuraikan di atas, alternatif solusi untuk menjawab problematika tersebut yaitu:

1.   Paradigma Tenaga Perancang
Terhadap problematika sudut pandang yang berbeda mengenai paradigma Perancang, dapat dilakukan melalui pertemuan dan diskusi yang lebih intens diantara Perancang dan stakeholder lainnya. Sehingga terjadi kesepahaman mengenai siapa Perancang dan bagaimana Perancang harus berperan dalam mendukung fungsi legislasi DPR.

2. Minimnya Jumlah Tenaga Perancang
Terhadap permasalahan minimnya jumlah Perancang yang ada saat ini, harus dilakukan upaya penambahan jumlah Perancang yang dapat berasal dari pegawai Setjen DPR atau lembaga lainnya yang memiliki minat dan standar kemampuan yang dibutuhkan. Selain itu, dapat juga merekrut pegawai baru yang memang khusus diangkat menjadi Perancang. Lebih lanjut harus disusun formula mengenai berapa kebutuhan riil terhadap Perancang yang ada di Setjen DPR dibandingkan dengan beban tugas fungsi legislasi DPR.

3. Kewajiban Normatif Penggunaan Tenaga Perancang
Terhadap permasalahan yang terkait dengan keberlakukan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,berikut dapat disampaikan beberapa alternatif :
Pertama            : perlu diciptakan suatu mekanisme, sistem, standar prosedur atau SOP yang
  berlaku di Setjen DPR dalam menunjang fungsi legislasi DPR. SOP tersebut
  tidak hanya berisi tahapan dan prosedur pembentukan RUU, tetapi juga
  menjamin Perancang dapat berperan dalam setiap tahapan pembentukan RUU.
  Dengan demikian, diharapkan dari setiap Undang-Undang yang dihasilkan di
  DPR telah memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
  tentang P3, baik ditinjau dari bahasa perundang-undangan maupun teknik dan
  teknis legal drating 
Kedua               : di dalam perubahan Undang-Undang tentang P3 nantinya perlu diusulkan
  penyempurnaan terhadap Pasal 98 ayat (2), yang pada intinya memuat ketentuan  
  mengenai keikutsertaaan tenaga pendukung (Perancang, peneliti, dan tenaga
  ahli) harus diatur dengan Peraturan Pemerintah. Tujuannya adalah untuk
  menjamin peran, fungsi, dan kedudukan masing-masing tenaga pendukung
  dalam mendukung fungsi legislasi DPR.
Ketiga               : Terkait dengan keberlakuan Pasal 99, perlu diluruskan konsep keterlibatan
  peneliti dan tenaga ahli dalam pembentukan RUU, apakah terkait dengan
  “status” atau “fungsi/keahliannya”. Walaupun begitu, alasan yang paling
  rasional  mengenai pelibatan peneliti dan tenaga ahli dalam pembentukan RUU
  pastilah terkait dengan latar belakang pendidikan dan/atau keahlian yang
  dibutuhkan dalam proses pembentukan RUU. Agar tidak terdapat interpretasi
  mengenai substansi Pasal 99 Undang-Undang tentang P3, rumusan Pasal 99
  Undang-Undang tentang P3 perlu disempurnakan  menjadi: “ Selain Perancang
  Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1),
  tahapan pembentukan Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, dan
  Peraturan Daerah Kabupaten/Kota mengikutsertakan peneliti dan tenaga
  ahli sesuai dengan latar belakang pendidikan dan/atau keahliannya.”

4. Belum Adanya SOP Yang Baku
Untuk menjawab permasalahan belum adanya standar mekanisme (SOP) yang jelas seperti yang telah diuraikan di dalam bagian keterbatasan dan problematika perancang, perlu disusun dan dirumuskan suatu standar oprasional pembentukan RUU yang mengatur mengenai perencanaan, tahapan pekerjaan, mekanisme kerja, prioritas kerja, evaluasi, koordinasi, dan lain-lain yang terkait dengan pembentukan RUU.

5. Anggaran Pembentukan RUU
Terkait dengan permasalahan anggaran, perlu dilakukan penyusunan anggaran yang berbasis kepada tahapan, mekanisme, dan kebutuhan dalam pembentukan RUU, sehingga dalam proses penyusunan anggarannya pun harus melibatkan berbagai stakeholder yang memahami tahapan, prosedur, dan kebutuhan dalam pembentukan RUU.


6.Dukungan Administratif dan Kelembagaan dalam Penilaian Kegiatan  Perancang
Untuk menjawab permasalahan terkait dengan dukungan administratif dan kelembagaan untuk menilai kegiatan Perancang, perlu dirumuskan standar pembuktian kegiatan secara administratif dan mekanisme pengesahan dari pejabat yang berwenang untuk membuktikan keterlibatan dan kontribusi Perancang di dalam setiap tahapan pembentukan RUU. Tujuannya adalah agar setiap kegiatan Perancang dapat dinilai secara obyektif  dan bisa dipertanggungjawabkan, serta untuk menghindari moral hazard sekaligus menjamin pembinaan terhadap karier Perancang dimasa yang akan datang.


III.               PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal:
1.      Peran Perancang dalam mendukung fungsi legislasi DPR adalahmenyiapkan, melakukan, dan menyelesaikan seluruh kegiatan teknis fungsional perancangan peraturan perundang-undangan di lingkungan unit perundang-undangan instansi Pemerintah, dengan tugas pokok menyiapkan, mengolah, dan merumuskan rancangan peraturan perundang-undangan dan instrumen hukum lainnya. 
2.      Dalam menjalankan perannya, Perancang masih dimenemui beberapa problematika yaitu terkait dengan paradigma Perancang dalam menjalankan perannya; minimnya jumlah Perancang; beberapa substansi pengaturan yang ada di dalam Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; belum adanya mekanisme kerja yang baku; belum maksimalnya dukungan administrative dan kelembagaan dalam penilaian kegiatan Perancang; dan anggaran yang terkadang tidak mendukung atau tidak sinkron dengan tahapan penyusunan RUU.
3.      Beberapa alternatif solusi dalam mengahadapi problematika Perancang adalah dengan mengadakan diskusi dan pertemuan yang lebih intens diantara Perancang dan stakeholder; alternatif pembentukan kelembagaan perancangan; penambahan jumlah Perancang; revisi Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; penyusunan mekanisme pembentukan RUU; dukungan administratif dan kelembagaan dalam penilaian kegiatan Perancang; dan penyusunan anggaran yang sesuai dengan tahapan penyusunan RUU. 

Demikianlah beberapa problematika dan alternatif solusi yang terkait dengan Perancang dalam mendukung fungsi legislasi DPR, yang memerlukan penyelesaian dan alternatif solusi yang efektif dan implementatif guna menunjang kinerja Perancang agar lebih profesional dan optimal.













































 DAFTAR PUSTAKA

Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
________. Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU No. 12 Tahun 2011, LN No. 82 Tahun 2011, TLN No. 5234.

________. Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, UU No. 27 Tahun 2009, LN No. 123 Tahun 2009, TLN No. 5043.

________. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia tentang Organisasi dan Tata Kerja Tim Penilai Angka Kredit Perancang Peraturan Perundang-undangan pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Nomor M.HH-06.KP.09.02 Tahun 2008.
                          
________. Keputusan Bersama Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan Kepala Badan Kepegawaian Negara tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan dan Angka Kreditnya, Nomor M.390-KP.04.12 Tahun 2002 Nomor 01 Tahun 2002.

________. Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara tentang Jabatan Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan dan Angka Kreditnya, Nomor: 41/KEP/m.PAN/12/2000.

________. Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara tentang Jabatan Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan dan angka Kreditnya, Nomor 41/KEP/M.PAN/12/


[1] Hasim Purba, Sinkronisasi dan Harmonisasi Sistem Hukum Nasional Bidang Pertambangan, Kehutanan, pertanahan dan Lingkungan Hidup, Jurnal hukum Equality, Volume 13 No. 2 Agustus 2008, hlm. 171.
[2] Jutta Limbach, The Concept of the Supremacy of the Constitution, dalam “The Modern Law Review”, Vol. 64, No. 1, Januari 2001, hal. 3.
[3] Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pasal 5 ayat (1) menyatakan:“Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”
[4] Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pasal 5 ayat (1) menyatakan:“Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang”
[5] Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Penjelasan Pasal 98 ayat (1) menyatakan: “Yang dimaksud dengan “Perancang Peraturan Perundang-undangan” adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak, secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan menyusun Rancangan Peraturan Perundang-undangan dan/atau instrumen hukum lainnya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.”
[6] Keputusan Bersama Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor M.390-KP.04.12 Tahun 2002 Nomor 01 Tahun 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan dan Angka Kreditnya, Pasal 1 angka 1.
[7] Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 41/KEP/M.PAN/12/2000 tentang Jabatan Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan dan angka Kreditnya, Pasal 4 menyatakan: “Tugas pokok Perancang adalah menyiapkan, mengolah, dan merumuskan rancangan peraturan perundang-undangan dan instrument hukum lainnya.”
[8]   Loc cit, Pasal 1 angka 2.
[9] Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011…,op.cit., Pasal 98 ayat (1) menyatakan: “Setiap tahapan Pembentukan Peraturan Perundangundangan mengikutsertakan Perancang Peraturan Perundang-undangan.”
[10] Ibid, Pasal 1 angka 1 yang menyatakan: “Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.”
[11] Peraturan perundang-undangan lainnya dapat berupa Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat, Peraturan Sekretariat Jenderal DPR-RI, dan peraturan lainnya terkait dengan instansi teknis pembina Perancang.
[12]   Keputusan Bersama Menteri Kehakiman…, Op.cit, Pasal 13 ayat (2). 

[13] Penjelasan Pasal 98 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 41/KEP/m.PAN/12/2000 tentang Jabatan Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan dan Angka Kreditnya, dan Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-06.KP.09.02 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Tim Penilai Angka Kredit Perancang Peraturan Perundang-undangan pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
[14] Alat kelengkapan DPR yang memiliki fungsi legislasi yaitu Badan Legislasi (Baleg), komisi, dan Panitia Khusus (Pansus).
[15] Beban kerja yang harus ditangani Perancang terdiri dari RUU yang berada pada tahap penyusunan dan pembahasan, Keterangan DPR di Persidangan MK, dan tugas-tugas lainnya yang terkait dengan fungsi Perancang.
[16] Undang-Undang Pembentukan…,op.cit., Pasal 98 ayat (1) menyatakan: “Setiap tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengikutsertakan Perancang Peraturan Perundang-undangan.”
[17] Ibid, Pasal 98 ayat (2) menyatakan: “Ketentuan mengenai keikutsertaan dan pembinaan Perancang Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
[18] Ibid, Pasal 99 menyatakan: “Selain Perancang Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1), tahapan pembentukan Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota mengikutsertakan peneliti dan tenaga ahli.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar