KEWAJIBAN NORMATIF PENGGUNAAN TENAGA PERANCANG
DALAM SETIAP TAHAPAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN SEGALA
KETERBATASAN DAN PROBLEMATIKA YANG DIALAMI
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pembangunan
yang dilakukan untuk mewujudkan tujuan nasional yang diatur dalam konstitusi
dasar negara kita mengakibatkan hukum semakin berperan sehingga secara sadar
dan aktif hukum berperan sebagai sarana menyusun tata kehidupan. Hasim Purba
mengatakan pembangunan Hukum di Indonesia diharapkan dapat memantapkan dan
mengamankan pelaksanaan pembangunan, menciptakan kondisi yang membuat anggota
masyarakat dapat menikmati iklim kepastian dan ketertiban hukum.[1]
Sehubungan dengan hal ini jutta limbach mengatakan Ada tiga ciri utama yang
menandai prinsip supremasi konstitusi, yaitu:
(i)
Pembedaan
antara norma hukum konstitusi dan norma hukum lainnya;
(ii)
Keterikatan
penguasa terhadap Undang-Undang Dasar;
(iii) Adanya satu lembaga
yang memiliki kewenangan untuk menguji konstitusionalitas undang-undang dan
tindakan hukum Pemerintah[2].
Mahfud MD
mengatakan bahwa politik seringkali
mengintervensi pembuatan dan
pelaksanaan hukum, sehingga tidak selalu menjamin kepastian hukum,
penegakan hak-hak masyarakat
atau penjamin keadilan.
Konfigurasi politik demokratis
akan menciptakan hukum responsif, sedangkan
konfigurasi politik otoriter
akan menciptakan produk
hukum konservatif.
Reformasi
yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 telah membawa perubahan besar dan
signifikan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satunya adalah
perubahan yang terjadi di bidang ketatanegaraan, yaitu dengan diamandemennya
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945).
Perubahan substansi yang terdapat di dalam UUD NRI Tahun 1945 tersebut,
ditandai dengan beralihnya kewenangan fungsi legislasi yang
mengakibatkan terjadi perubahan pendulum kekuasaan dalam pembentukan
Undang-Undang. Sebelum perubahan UUD NRI Tahun 1945, kekuasaan pembentukan
Undang-Undang ada di tangan Presiden (executive heavy)[3], setelah
diadakan amandemen kekuasaan pembentukan Undang-Undang ada di tangan DPR (legislative
heavy).[4]
Perubahan pendulum kekuasaan pembentukan Undang-Undang
yang saat ini berada di tangan DPR, telah merubah konstalasi dan prosedur dalam
pembentukan Undang-Undang. Perubahan tersebut harus didukung tidak hanya
melalui dukungan teknis administratif dari Setjen DPR, tetapi juga melalui
dukungan dalam bentuk keahlian kepada DPR, baik berupa dukungan pakar dan ahli
dari luar maupun pakar dan ahli dari internal DPR. Untuk dukungan keahlian
dalam bidang legislasi tersebut dibentuklah Deputi Perundang-Undangan (Deputi
PUU), yang di dalamnya terdapat tenaga fungsional di bidang perancangan
peraturan perundang-undangan yang sering disebut Perancang Peraturan
Perundang-Undangan, Perancang Undang-Undang, atau Legislative Drafter.[5]
Peran dan
fungsi Perancang sejatinya memberikan dukungan keahlian dalam setiap tahapan
pembentukan Undang-Undang, mulai dari tahap perencanaan, penyusunan, dan pembahasan.
Walaupun mempunyai peran dan fungsi dalam pembentukan Undang-Undang, pembinaan
terhadap kinerja dan karier Parancang masih terdapat beberapa problematika yang
harus segera dipikirkan dan dicarikan solusi terbaik agar Perancang menjadi
lebih profesional sehingga dapat memberikan kontribusi keahlian yang lebih
optimal dalam mendukung fungsi legislasi DPR.
Kewajiban normatif
menggunakan tenaga perancang dalam setiap tahap pembentukan peraturan diatur
dalam Pasal 98 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sedangkan pengertian Perancang
dijelaskan di dalam Penjelasan Pasal 98 ayat (1) Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011), yang menyatakan: “Yang dimaksud dengan
“Perancang Peraturan Perundang-undangan” adalah pegawai negeri sipil yang
diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak, secara penuh oleh pejabat yang
berwenang untuk melakukan kegiatan menyusun Rancangan Peraturan
Perundang-undangan dan/atau instrumen hukum lainnya sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.”
B. Permasalahan
Dengan
adanya kewajiban normatif penggunaan tenaga Perancang dalam setiap tahapan
pembentukan Peraturan Perundang-undangan dengan segala keterbatasan dan
problematika yang dimiliki tenaga Perancang dalam menjalankan tugas dan
fungsinya dituntut untuk memberikan kontribusi yang optimal dalam mendukung
fungsi legislasi DPR
pertama : apa saja problematika yang
dihadapi Perancang dalam melaksanakan
tugasnya memberikan dukungan legislasi kepada DPR
kedua :
bagaimana alternatif solusi dalam menghadapi problematika tersebut.
C.
Metode
Tulisan ini
membahas tentang apa dan bagaimana problematika Perancang sekaligus beberapa
alternatif solusi dalam mendukung fungsi legislasi DPR. Penulis mendasarkan
tulisan ini pada fakta-fakta empiris yang ada di lingkungan Setjen DPR RI yang
didukung data sekunder, seperti peraturan perundang-undangan dengan
mengedepankan gagasan kritis yang bersifat konseptual, sistematis, analisis,
dan deskriptif.
II. PEMBAHASAN
A. TENAGA PERANCANG
Secara normatif peran Perancang adalah menyiapkan,
melakukan, dan menyelesaikan seluruh kegiatan teknis fungsional perancangan
peraturan perundang-undangan di lingkungan unit perundang-undangan instansi
Pemerintah,[6] dengan
tugas pokok menyiapkan, mengolah, dan merumuskan rancangan peraturan
perundang-undangan dan instrumen hukum lainnya.[7] Ruang
lingkup kegiatan Perancang meliputi berbagai kegiatan di bidang perancangan
peraturan perundang-undangan atau yang terkait dengan bidang peraturan
perundang-undangan.[8]
Selain itu, Pasal 98 ayat (1) Undang-Undang tentang P3, menyatakan secara tegas
bahwa setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan mengikutsertakan
Perancang.[9] Perancang
yang mendukung fungsi legislasi DPR berada di bawah pembinaan Deputi PUU Setjen
DPR-RI. Adapun lingkup dari tugas Perancang yang terkait dengan fungsi
legislasi DPR adalah pada tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan,[10] serta
fungsi lain seperti menyusun keterangan DPR di persidangan MK dan peraturan
perundang-undangan lainnya.[11]
Untuk pertama kali diangkat menjadi Perancang, selain
seorang Pegawai Negeri Sipil harus memenuhi persyaratan berijazah
serendah-rendahnya Sarjana Hukum atau Sarjana lain dibidang hukum, pangkat
serendah-rendahnya Penata Muda golongan ruang III/a, telah mengikuti dan lulus
pendidikan pelatihan fungsional dibidang perancangan peraturan
perundang-undangan, serta setiap unsur penilaian prestasi kerja
sekurang-kurangnya bernilai baik dalam 1 (satu) tahun terakhir.[12] Selain
kriteria teknis normatif persyaratan untuk dapat diangkat menjadi seorang
Perancang, terkait dengan tugasnya sehari-hari seorang Perancang harus memiliki
kriteria:
1. memiliki
penalaran dan logika hukum yang kuat serta pengetahuan yang
baik mengenai asas-asas hukum dan perundang-undangan;
2. menguasai
teknik dan lampiran Undang-Undang tentang P3 dengan baik;
3. mampu mengidentifikasi
permasalahan bernegara dan kebutuhan hukum dimasyarakat, untuk selanjutnya
memberikan alternatif solusi di dalam format/sistematika RUU;
4. mampu
menganalisis permasalahan bernegara dan kebutuhan hukum di masyarakat dengan
kondisi peraturan perundang-undangan yang berlaku, untuk kemudian
mengharmonisasikan dan mensinkronkan substansi pengaturannya dengan RUU yang
sedang disusun;
5. dapat
berargumentasi dan mempertahankan pendapat dan pemikirannya secara lugas,
terstruktur, dan sistematis, akan tetapi terbuka dengan pemikiran yang lebih
baik; dan
6. lebih
disukai memiliki pengetahuan dibidang lain selain dibidang
perancangan yang mampu menunjang fungsinya.
B. KETERBATASAN
DAN PROBLEMATIKA
PERANCANG
Setelah
mengetahui siapa Perancang dan apa yang menjadi tugas serta fungsinya,
selanjutnya ingin dipaparkan keterbatasan dan problematika yang dihadapi
Perancang berdasarkan pengalaman serta pengamatan dalam menjalankan tugas
mendukung fungsi legislasi DPR, yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1.
Paradigma Tenaga Perancang
Problematika yang terkait dengan peran Perancang dan
merupakan salah satu permasalahan yang prinsipil adalah paradigma terhadap
Perancang itu sendiri. Masih terdapat perbedaan sudut pandang atau perspketif
mengenai siapa itu Perancang dikaitkan dengan pembinaan Perancang di dalam
bidang tertentu sesuai dengan lingkup dan tugas masing-masing alat kelengkapan
atau bidang kementerian yang ada di DPR. Perbedaan perspektif tersebut tidak
hanya terjadi diantara stakeholder, namun juga diantara Perancang
sendiri. Perancang adalah orang yang seharusnya dituntut untuk ahli atau
profesional dibidang perancangan peraturan perundang-undangan, bukan dibidang
yang lain. Seorang Perancang itu adalah sarjana hukum plus, artinya tidak hanya
lulusan sarjana hukum atau yang disamakan, tapi juga telah mendapatkan
pendidikan dan pelatihan mengenai perancangan peraturan perundang-undangan,
sehingga kapasitas dan kemampuan setiap Perancang adalah sama.
Merujuk pengertian Perancang yang ada di dalam peraturan
perundang-undangan hanya mencakup pegawai negeri sipil yang diberi tugas,
tanggung jawab, wewenang, dan hak, secara penuh oleh pejabat yang berwenang
untuk melakukan kegiatan menyusun Rancangan Peraturan Perundang-undangan
dan/atau instrumen hukum lainnya sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.[13]
Pembagian atau pengkotak-kotakan Perancang dalam
bidang-bidang tertentu yang disesuaikan dengan pembidangan alat kelengkapan
atau bidang tugas kementerian tertentu di DPR sangatlah tidak relevan dan
berdasar, karena setiap Perancang dibutuhkan kemampuannya untuk menunjang
setiap proses pembentukan RUU dalam konteks peran dan keahliannya dalam
segi legal drafting bukan dalam konteks yang lain walaupun
tidak menafikkan juga perlunya pemahaman Perancang akan substansi dari suatu
bidang RUU yang sedang disusun.
Modal utama seorang Perancang adalah pengetahuan dan
logika hukum, serta penguasaan atas asas hukum yang ditunjang dengan penguasaan
dan keterampilan teknik dalam perancangan peraturan perundang-undangan sesuai
dengan Undang-Undang tentang P3. Adapun penguasaan masalah substansi
teknis/spesifik terkait RUU yang sedang disusun merupakan domain dari
peneliti atau tenaga ahli, sehingga dapat dimaklumi jika dalam proses
pembentukan Undang-Undang ketiga unsur tersebut haruslah bekerjasama dan
berkolaborasi.
2.
Minimnya Jumlah Tenaga Perancang
Jumlah tenaga
Perancang yang ada di Deputi PUU Setjen DPR sangat tidak memadai. Dengan
semakin meningkatnya peran Perancang dalam mendukung fungsi legislasi DPR
jumlah tenaga Perancang yang ada sangatlah minim, karena setiap Perancang
ditugasi untuk mengikuti semua proses pembentukan Undang-Undang yang ada di
semua alat kelengkapan DPR.[14]
Sehingga tidak jarang seorang Perancang memiliki beban
kerja[15] sebanyak
6 (enam) sampai dengan 10 (sepuluh) RUU atau bahkan lebih yang harus ditangani
dalam waktu yang bersamaan. Padahal idealnya seorang Perancang hanya memiliki
beban kerja sebanyak 2 (dua) sampai dengan 4 (empat) RUU dalam waktu yang
bersamaan.
Beratnya beban kerja terkait jumlah RUU yang harus
ditangani oleh masing-masing Perancang akan berimplikasi kepada peran Perancang
yang bersangkutan dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan kepadanya.
Artinya semakin banyak beban tugas yang diberikan, akan semakin berkurang fokus
dan konsentrasi Perancang dalam mengerjakan tugas-tugasnya, karena yang
bersangkutan dituntut untuk dapat membagi waktu dan menentukan skala prioritas,
begitu pun sebaliknya. Di sisi lain, tuntutan DPR akan dukungan keahlian di bidang
legislasi semakin tinggi, sehingga Perancang dituntut untuk dapat bekerja
secara optimal. Untuk itu jumlah Perancang yang ada saat ini masih jauh dari
optimal, sehingga kedepan harus ada penambahan jumlah Perancang yang
disesuaikan dengan beban legislasi DPR.
3.
Kewajiban
Normatif Penggunaan Tenaga Perancang
Beberapa
problematika yang terkait dengan keberlakuan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu:
Pertama : walaupun di dalam ketentuan Pasal 98 ayat (1) Undang-Undang tentang
P3
menyatakan di dalam setiap tahapan pembentukan Undang-Undang harus
mengikutsertakan
Perancang[16] tetapi
masih terdapat beberapa kegiatan
pembentukan
Undang-Undang yang tidak mengikutsertakan Perancang, atau
keterlibatan
Perancang dilakukan tidak disemua tahapan dalam proses
pembentukan
RUU. Hal ini akan berpotensi RUU yang sedang dibentuk akan
mengalami kelemahan dari segi bahasa
perundang-undangan maupun teknik legal
drafting-nya.
Kedua :
ketentuan Pasal 98 ayat (2) mengatur bahwa keikutsertaan dan
pembinaan
Perancang
diatur dengan Peraturan Pemerintah[17].
Ketentuan pasal tersebut
menimbulkan
pertanyaan mengapa yang diatur “keikutsertaan” dalam
pembentukan
Undang-Undang hanyalah Perancang, padahal Pasal 99 Undang-
Undang
selain Perancang juga mengikutsertakan peneliti dan tenaga ahli, tapi
mengapa
keikutsertaan peneliti dan tenaga ahli di dalam pembentukan Undang-
Undang tidak
diatur di dalam Peraturan Pemerintah. Norma tersebut berpotensi
untuk
memberikan perlakuan yang berbeda (diskriminatif) terhadap pihak yang
mendukung
dalam proses pembentukan Undang-Undang.
Ketiga : ketentuan
Pasal 99 mengenai keikutsertaan peneliti dan tenaga ahli
menimbulkan interpretasi,
apakah “peneliti dan tenaga ahli” yang terlibat dalam
pembentukan Undang-Undang sudah merujuk pada
“status” atau
“fungsi/keahliannya”. Hal ini memiliki konsekuensi
yang berbeda, karena
apabila merujuk kepada status, setiap orang yang
berstatus sebagai peneliti atau
tenaga ahli dapat ikut serta dalam setiap
tahapan pembentukan Undang-Undang
tanpa mempermasalahkan apakah latar belakang
pendidikan dan/atau
kemampuannya sesuai dengan kebutuhan RUU yang
sedang dibentuk. Di sisi
lain, apabila merujuk kepada keahliannya maka
hanya peneliti dan tenaga ahli
yang sesuai latar belakang pendidikan
dan/atau kemampuannya yang dapat
diikutsertakan dalam penyusunan RUU, karena
kontribusi dan masukannya
memang dibutuhkan sesuai dengan latar
belakang pendidikan dan/atau keahlian
peneliti dan tenaga ahli yang bersangkutan.
4. Belum Adanya
SOP Yang Baku
Saat ini belum ada mekanisme kerja atau SOP berupa
standar dan prosedur kerja baku yang menyangkut uraian kegiatan dan tahapan
kerja di dalam penyusunan RUU inisiatif DPR, terkait dengan perencanaan,
tahapan pekerjaan, mekanisme kerja, prioritas kerja, evaluasi, koordinasi, dan
lain-lain. Hal ini penting dan harus dipersiapkan terlebih dahulu agar setiap
NA dan RUU yang dihasilkan dapat memenuhi standar secara legal drafting dan
dapat dipertanggungjawabkan secara substansi.
Implikasi dari belum adanya mekanisme kerja yang dimaksud
adalah tidak jarang bahwa pendekatan kerja yang dilakukan terhadap kegiatan
pembentukan NA dan RUU adalah pendekatan yang menitikberatkan pada hasil.
Artinya suatu NA dan RUU dihasilkan tanpa melalui mekanisme, tahapan, dan
prosedur yang semestinya. Penerapan mekanisme dan prosedur dalam pembentukan
Undang-Undang bertujuan agar output atau NA dan RUU yang dihasilkan
dapat terjaga kualitas dan dapat dipertanggungjawabkan secara teknis maupun
substansinya.
5. Anggaran Pembentukan RUU
Harus disadarai bahwa proses pembentukan Undang-Undang
memerlukan alur dan tahapan yang panjang, dengan melibatkan unsur pendukung
yang terkadang tidak sedikit. Pada prinsipnya proses dan tahapan
pembentukan Undang-Undang haruslah sesuai dengan tahapan dan prosedur serta
didukung oleh sistem pendukung yang diperlukan. Tetapi dalam prakteknya
terkadang dukungan anggaran tidak sesuai dengan kebutuhan.
Hal tersebut terjadi karena pada saat penyusunan anggaran
pembentukan RUU terkadang tidak mengacu pada prosedur atau tahapan yang lazim
dalam pembentukan Undang-Undang, tidak melibatkan pihak yang mengerti tahapan
dan kebutuhan pembentukan Undang-Undang, atau dapat juga terjadi karena
kurangnnya kesadaran dari pengambil kebijakan terhadap tahapan dan prosedur
yang harus ditempuh, sehingga dalam pengambilan keputusannya terkadang
mengabaikan tahapan dan prosedur dan kebutuhan dalam pembentukan Undang-Undang.
Sering kali terjadi suatu tahapan atau prosedur yang seharusnya dilakukan dalam
penyiapan Undang-Undang tidak dapat dilakukan karena tidak tersedianya
anggaran. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap hasil yang dibentuk, padahal
disisi lain NA dan RUU yang dihasilkan oleh sistem pendukung haruslah dapat
dipertanggungjawabakan, baik secara substansi maupun teknik legal
drafting kepada DPR.
6. Dukungan Administratif dan
Kelembagaan dalam Penilaian Kegiatan Perancang
Disadari
bahwa penghitungan terhadap uraian kegiatan Perancang sangat rumit dan
membutuhkan ketelitian di dalam penghitungan angka kreditnya, hal ini
dikarenakan uraian kerja Perancang sangat banyak dengan jumlah nominal yang
sangat kecil. Seiring dengan dibentuknya Tim Penilai angka kredit
Perancang secara internal maka tuntutan untuk menjadikan Perancang semakin
profesional dan diakui keberadaanya dari aspek penilaian tugas yang
dikerjakannya adalah dengan menjalankan sistem penghitungan angka kredit
kegiatan Perancang yang semakin mendekati sistem yang telah disusun oleh
Pemerintah di dalam buku panduan penghitungan jabatan fungsional Perancang.
Di sisi lain, sistem penghitungan angka kredit Perancang
tersebut belum didukung dengan adanya standar pembuktian kegiatan secara
administratif, terkait dengan teknis pembuktian dan pengesahan dari pejabat
yang berwenang untuk membuktikan keterlibatan dan kontribusi Perancang di dalam
setiap tahapan pembentukan RUU. Hal ini sangat penting agar setiap pekerjaan
yang dilakukan Perancang dapat dinilai secara obyektif dan dapat
dipertanggungjawabkan, serta menghindari moral hazard sekaligus
juga menjamin pembinaan terhadap karier Perancang dimasa yang akan datang.
B. ALTERNATIF SOLUSI
Dari
beberapa problematika yang telah diuraikan di atas, alternatif solusi untuk
menjawab problematika tersebut yaitu:
1. Paradigma Tenaga Perancang
Terhadap
problematika sudut pandang yang berbeda mengenai paradigma Perancang, dapat
dilakukan melalui pertemuan dan diskusi yang lebih intens diantara Perancang
dan stakeholder lainnya. Sehingga terjadi kesepahaman mengenai
siapa Perancang dan bagaimana Perancang harus berperan dalam mendukung fungsi
legislasi DPR.
2. Minimnya Jumlah Tenaga
Perancang
Terhadap
permasalahan minimnya jumlah Perancang yang ada saat ini, harus dilakukan upaya
penambahan jumlah Perancang yang dapat berasal dari pegawai Setjen DPR atau
lembaga lainnya yang memiliki minat dan standar kemampuan yang dibutuhkan.
Selain itu, dapat juga merekrut pegawai baru yang memang khusus diangkat
menjadi Perancang. Lebih lanjut harus disusun formula mengenai berapa kebutuhan
riil terhadap Perancang yang ada di Setjen DPR dibandingkan dengan beban tugas
fungsi legislasi DPR.
3. Kewajiban
Normatif Penggunaan Tenaga Perancang
Terhadap
permasalahan yang terkait dengan keberlakukan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,berikut dapat
disampaikan beberapa alternatif :
Pertama : perlu diciptakan suatu mekanisme, sistem, standar prosedur atau SOP
yang
berlaku
di Setjen DPR dalam menunjang fungsi legislasi DPR. SOP tersebut
tidak hanya
berisi tahapan dan prosedur pembentukan RUU, tetapi juga
menjamin
Perancang dapat berperan dalam setiap tahapan pembentukan RUU.
Dengan
demikian, diharapkan dari setiap Undang-Undang yang dihasilkan di
DPR telah
memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
tentang P3,
baik ditinjau dari bahasa perundang-undangan maupun teknik dan
teknis
legal drating
Kedua : di dalam perubahan Undang-Undang tentang P3 nantinya perlu diusulkan
penyempurnaan
terhadap Pasal 98 ayat (2), yang pada intinya memuat ketentuan
mengenai
keikutsertaaan tenaga pendukung (Perancang, peneliti, dan tenaga
ahli) harus
diatur dengan Peraturan Pemerintah. Tujuannya adalah untuk
menjamin
peran, fungsi, dan kedudukan masing-masing tenaga pendukung
dalam
mendukung fungsi legislasi DPR.
Ketiga : Terkait
dengan keberlakuan Pasal 99, perlu diluruskan konsep keterlibatan
peneliti dan tenaga ahli dalam
pembentukan RUU, apakah terkait dengan
“status” atau “fungsi/keahliannya”. Walaupun
begitu, alasan yang paling
rasional mengenai pelibatan
peneliti dan tenaga ahli dalam pembentukan RUU
pastilah terkait dengan latar belakang
pendidikan dan/atau keahlian yang
dibutuhkan dalam proses pembentukan RUU. Agar
tidak terdapat interpretasi
mengenai substansi Pasal 99 Undang-Undang
tentang P3, rumusan Pasal 99
Undang-Undang tentang P3 perlu
disempurnakan menjadi: “ Selain Perancang
Peraturan
Perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1),
tahapan
pembentukan Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, dan
Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota mengikutsertakan peneliti dan tenaga
ahli sesuai dengan latar belakang
pendidikan dan/atau keahliannya.”
4. Belum Adanya
SOP Yang Baku
Untuk menjawab permasalahan belum adanya standar
mekanisme (SOP) yang jelas seperti yang telah diuraikan di dalam bagian keterbatasan dan problematika
perancang, perlu disusun dan dirumuskan suatu standar oprasional
pembentukan RUU yang mengatur mengenai perencanaan, tahapan pekerjaan,
mekanisme kerja, prioritas kerja, evaluasi, koordinasi, dan lain-lain yang
terkait dengan pembentukan RUU.
5. Anggaran Pembentukan RUU
Terkait
dengan permasalahan anggaran, perlu dilakukan penyusunan anggaran yang berbasis
kepada tahapan, mekanisme, dan kebutuhan dalam pembentukan RUU, sehingga dalam
proses penyusunan anggarannya pun harus melibatkan berbagai stakeholder yang
memahami tahapan, prosedur, dan kebutuhan dalam pembentukan RUU.
6.Dukungan Administratif dan
Kelembagaan dalam Penilaian Kegiatan Perancang
Untuk
menjawab permasalahan terkait dengan dukungan administratif dan kelembagaan
untuk menilai kegiatan Perancang, perlu dirumuskan standar pembuktian kegiatan
secara administratif dan mekanisme pengesahan dari pejabat yang berwenang untuk
membuktikan keterlibatan dan kontribusi Perancang di dalam setiap tahapan
pembentukan RUU. Tujuannya adalah agar setiap kegiatan Perancang dapat dinilai
secara obyektif dan bisa dipertanggungjawabkan, serta untuk
menghindari moral hazard sekaligus menjamin pembinaan terhadap
karier Perancang dimasa yang akan datang.
III. PENUTUP
Berdasarkan
uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal:
1. Peran Perancang dalam mendukung
fungsi legislasi DPR adalahmenyiapkan, melakukan, dan menyelesaikan seluruh
kegiatan teknis fungsional perancangan peraturan perundang-undangan di
lingkungan unit perundang-undangan instansi Pemerintah, dengan tugas pokok
menyiapkan, mengolah, dan merumuskan rancangan peraturan perundang-undangan dan
instrumen hukum lainnya.
2. Dalam menjalankan perannya,
Perancang masih dimenemui beberapa problematika yaitu terkait dengan paradigma
Perancang dalam menjalankan perannya; minimnya jumlah Perancang; beberapa
substansi pengaturan yang ada di dalam Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; belum adanya mekanisme kerja yang baku; belum
maksimalnya dukungan administrative dan kelembagaan dalam penilaian kegiatan
Perancang; dan anggaran yang terkadang tidak mendukung atau tidak sinkron
dengan tahapan penyusunan RUU.
3. Beberapa alternatif solusi dalam
mengahadapi problematika Perancang adalah dengan mengadakan diskusi dan
pertemuan yang lebih intens diantara Perancang dan stakeholder; alternatif
pembentukan kelembagaan perancangan; penambahan jumlah Perancang; revisi Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; penyusunan mekanisme
pembentukan RUU; dukungan administratif dan kelembagaan dalam penilaian
kegiatan Perancang; dan penyusunan anggaran yang sesuai dengan tahapan
penyusunan RUU.
Demikianlah beberapa problematika
dan alternatif solusi yang terkait dengan Perancang dalam mendukung fungsi
legislasi DPR, yang memerlukan penyelesaian dan alternatif solusi yang efektif
dan implementatif guna menunjang kinerja Perancang agar lebih profesional dan
optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Indonesia. Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
________. Undang-Undang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU No. 12 Tahun 2011, LN No. 82
Tahun 2011, TLN No. 5234.
________. Undang-Undang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, UU No. 27 Tahun 2009, LN No.
123 Tahun 2009, TLN No. 5043.
________. Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia tentang Organisasi dan
Tata Kerja Tim Penilai Angka Kredit Perancang Peraturan Perundang-undangan pada
Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia,
Nomor M.HH-06.KP.09.02 Tahun 2008.
________. Keputusan
Bersama Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan Kepala
Badan Kepegawaian Negara tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional
Perancang Peraturan Perundang-undangan dan Angka Kreditnya, Nomor
M.390-KP.04.12 Tahun 2002 Nomor 01 Tahun 2002.
________. Keputusan
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara tentang Jabatan Fungsional
Perancang Peraturan Perundang-undangan dan Angka Kreditnya, Nomor:
41/KEP/m.PAN/12/2000.
________. Keputusan
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara tentang Jabatan Fungsional
Perancang Peraturan Perundang-undangan dan angka Kreditnya, Nomor
41/KEP/M.PAN/12/
[1] Hasim Purba,
Sinkronisasi dan Harmonisasi Sistem Hukum Nasional Bidang Pertambangan,
Kehutanan, pertanahan dan Lingkungan Hidup, Jurnal hukum Equality, Volume 13
No. 2 Agustus 2008, hlm. 171.
[2] Jutta Limbach, The
Concept of the Supremacy of the Constitution, dalam “The Modern Law Review”,
Vol. 64, No. 1, Januari 2001, hal. 3.
[3] Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pasal 5 ayat (1) menyatakan:“Presiden
memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat.”
[4] Undang-Undang Dasar
Tahun 1945, Pasal 5 ayat (1)
menyatakan:“Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk
Undang-Undang”
[5] Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
Penjelasan Pasal 98 ayat (1) menyatakan: “Yang dimaksud dengan “Perancang
Peraturan Perundang-undangan” adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas,
tanggung jawab, wewenang, dan hak, secara penuh oleh pejabat yang berwenang
untuk melakukan kegiatan menyusun Rancangan Peraturan Perundang-undangan
dan/atau instrumen hukum lainnya sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.”
[6] Keputusan
Bersama Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan Kepala
Badan Kepegawaian Negara Nomor M.390-KP.04.12 Tahun 2002 Nomor 01 Tahun 2002
tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Perancang Peraturan
Perundang-undangan dan Angka Kreditnya, Pasal 1 angka 1.
[7] Keputusan
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 41/KEP/M.PAN/12/2000 tentang
Jabatan Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan dan angka Kreditnya,
Pasal 4 menyatakan: “Tugas pokok Perancang adalah menyiapkan, mengolah,
dan merumuskan rancangan peraturan perundang-undangan dan instrument hukum
lainnya.”
[9] Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011…,op.cit., Pasal 98 ayat (1) menyatakan: “Setiap
tahapan Pembentukan Peraturan Perundangundangan mengikutsertakan Perancang
Peraturan Perundang-undangan.”
[10] Ibid, Pasal 1
angka 1 yang menyatakan: “Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
adalah pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan.”
[11] Peraturan
perundang-undangan lainnya dapat berupa Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat,
Peraturan Sekretariat Jenderal DPR-RI, dan peraturan lainnya terkait dengan
instansi teknis pembina Perancang.
[13] Penjelasan
Pasal 98 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 41/KEP/m.PAN/12/2000 tentang Jabatan
Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan dan Angka Kreditnya, dan
Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Nomor M.HH-06.KP.09.02 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Tim Penilai Angka Kredit Perancang Peraturan Perundang-undangan pada Kantor
Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
[14] Alat
kelengkapan DPR yang memiliki fungsi legislasi yaitu Badan Legislasi (Baleg),
komisi, dan Panitia Khusus (Pansus).
[15] Beban kerja
yang harus ditangani Perancang terdiri dari RUU yang berada pada tahap
penyusunan dan pembahasan, Keterangan DPR di Persidangan MK, dan tugas-tugas
lainnya yang terkait dengan fungsi Perancang.
[16] Undang-Undang
Pembentukan…,op.cit., Pasal 98 ayat (1) menyatakan: “Setiap
tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengikutsertakan Perancang
Peraturan Perundang-undangan.”
[17] Ibid, Pasal 98
ayat (2) menyatakan: “Ketentuan mengenai keikutsertaan dan pembinaan
Perancang Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
[18] Ibid, Pasal 99
menyatakan: “Selain Perancang Peraturan Perundang-undangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1), tahapan pembentukan Undang-Undang, Peraturan
Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota mengikutsertakan peneliti
dan tenaga ahli.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar